Wayang Puppet Theatre in Indonesia

                                                                                                                  UNESCO proclaimed the Wayang Puppet Theatre as a Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity on 7th November 2003. It was proclaimed, with 28 other masterpiece around the world, enhancing the first list of 19 cultural spaces and expressions selected in May 2001. The Proclamation of Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage of Humanity programme was created in 1997 at the 29th session of the General Conference of UNESCO.


Wayang is an ancient form of story telling originated on the Indonesian island of Java. For ten centuries wayang flourished at the royal courts of Java and Bali as well as in rural areas. Today, wayang is practiced not only on Java and Bali, but also on the islands of Lombok, Madura, Sumatra and Borneo, where various local performance styles and musical accompaniments have developed.

Traditionally, Wayang performances took place not only in the courts of kings and noblemen, but also in the compounds of temples or of private families, in village squares and even in theatres. Wayang performers, the dalangs, musicians and singers performed for whoever wished to invite them. Today, as the pressures of modern, urban society are contributing to a disintegration of community and family life, the traditional family rituals which would have included Wayang, are celebrated less frequently, and less elaborately.

In the past, puppeteers were regarded as cultivated literary experts who transmitted philosophical, moral and aesthetic values through their art. The words and actions of comic characters representing the �common man� have provided an acceptable vehicle for criticizing sensitive social and political issues, and it is believed that this special role may have contributed to wayang�s survival over the centuries.

In October 2004, responding to the urgent need to safeguard the traditional Wayang Puppet Theatre, UNESCO proposed a project entitled "Implementation of the First Phase of the National Action Plan for the Safeguarding of the Wayang Puppet Theatre of Indonesia, a UNESCO Masterpiece of the Oral and Intangible Cultural Heritage of Humanity".

The objective is to encourage Indonesia to undertake concrete action to safeguard, revitalize, and promote this traditional puppet theatre. Over its 3-year duration, the project will focus on the three main activities, Research & Documentation, Training, and Dissemination. Japanese Funds-in-Trust supports the project for the Preservation and Promotion of Intangible Cultural Heritage. The Intangible Heritage Section (ITH) at UNESCO Headquarters, SENA WANGI (the national implementing agency) and UNESCO Office Jakarta are all involved in its implementation.

SENAWANGI, the national implementing agency, is working together with PEPADI (Indonesian Pedalangan Union), private Wayang training centres (PDM & Habirando), STSI (Indonesian Arts University), and ISI (Indonesian Arts Institute). They will establish sanggars in Palembang and Banjarmasin, in order to make inventories and update documentations on sanggars and Wayang practitioners of the five kinds of Wayang such as Wayang Kulit Purwa Surakarta, Wayang Kulit Purwa Yogyakarta, Wayang Kulit Parwa Bali, Wayang Kulit Malangan, Wayang Golek Sunda, Wayang Kulit Banjar and Wayang Kulit Palembang.

SENAWANGI will continue conducting field research and surveys in close cooperation with PEPADI by visiting selected locations such as: Denpasar, Malang, Surakarta, Yogyakarta, Bandung, Sukabumi, Karawang, Jakarta, Palembang and Banjarmasin. As well as inviting the wayang master practitioners and experts from each location to assist in taking inventories and to update documentation on sanggars and wayang practitioners for the five kinds of Wayang.

More information of the Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity on First Proclamation, Second Proclamation and Third Proclamation.
For more information regarding activities on wayang www.wayang-indonesia.com.

article by http://www.unesco.or.id/activities/culture/programme/259.php

Lanjut membaca..

SEKATEN

                                                                    

SEKATEN
(Syahadatain)

Perayaan Sekaten yang dilaksanakan setiap tahun di Karaton Surakarta adalah wujud Mikul Dhuwur Mendhem Jero dari Karaton terhadap perjuangan Wali Songo yang telah berhasil menyebarkan tuntunan nabi Muhammad SAW. Untuk kepentingan dakwah, oleh para wali di Demak, kelahiran Nabi tersebut diperingati selama seminggu, dari tanggal 5-15 Rabbingulawal. Peringatan yang lazim dinamai Maulud Nabi itu, oleh para wali disebut Sekaten, yang berasal dari kata Syahadatain (dua kalimat Syahadat, yakni persaksian manusia muslim bahwa Tida Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah Utusan Allah).

TUNTUNAN

Sekaten diadakan sebagai penghormatan terhadap lahirnya tuntunan bagi manusia, yang perlu terus-menerus didengungkan ke pelosok masyarakat sampai kapanpun juga. Masyarakat yang datang ke Sekaten tidak lain hanya ingin mendapatkan pencerahan (berkah) dari tuntunan yang telah terbukti membawa manusia hidup dalam kebahagiaan lahir dan batin.

Semangat perayaan Sekaten tak lain sebuah peringatan kepada manusia untuk dapat hormat-menghormati satu sama lain, dapat mengakui ide-ide orang lain, bisa mengakui kesalahan dengan Legawa dan menerima kemenangan dengan syukur dan takwa serta tidak takabur.

Sebenarnya, orang-orang yang mendatangi Sekaten pada dasarnya adalah mereka yang mau diatur oleh tuntunan, Ngrungkebi Budi Suci dan menghambakan diri kepada Tuhan YME, menuju manusia sejati sebagaimana yang diharapkan para wali.

TONTONAN
Nyatalah bahwa perayaan Sekaten diperuntukkan bagi mereka yang menghendaki tuntunan; hal yang memang dikehendaki oleh para Wali Songo. Kejelian, kecerdasan, dan kedekatan para Wali pada masyarakatnya, membuat mereka sepakat untuk mengemas dakwahnya dengan menampilkan tontonan yang menghadirkan gamelan pusaka peninggalan dinasti Majapahit yang telah dibawa ke Demak.

Di Karaton Surakarta tradisi menabuh gamelan itu masih tetap dilaksanakan di Bangsal Pagongan, Mesjid Agung Karaton Surakarta. Yang harus disimak dari Gendhing-gendhing Gamelan Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari adalah makna yang ada di dalamnya. Setidaknya ada 2 (dua) kebenaran yang hendak disampaikan. Pertama adalah Syahadat Taukhid, yakin pada adanya Allah SWT, dilambangkan dalam gendhing ‘Rembu’, berasal dari kata Robbunayang yang artinya Allah Tuhanku yang dikumandangkan dari gamelan Kyai Guntur Madu.

Perkara kedua adalah Syahadat Rosul dari Gamelan Kyai Guntur Sari, yakni berkumandangnya Gendhing ‘Rangkung’, berasal dari kata Roukhun yang artinya Jiwa Besar atau Jiwa Yang Agung. Semua tidak hanya sebagai tontonan atau hiburan belaka.

NUT JAMAN KELAKONE

Perkembangan jaman dan semangat baru yang hendak diemban oleh Karaton Surakarta menuntut kelegawaan dan kejembaran pikiran untuk melaksanakannya. Sebagai salah satu dari keragaman konstelasi tradisi Karaton, Sekaten-pun harus Nut Jaman Kelakone. Artinya, baik sebagai Tuntunan maupun sebagai Tontonan, keduanya harus tetap berdasarkan pada tujuan semula diadakannya perayaan Sekaten. Jangan sampai kepercayaan masyarakat yang telah mengakar dikaburkan oleh penonjolan unsur tontonannya. Kita tidak boleh semena-mena dan nggampangke masalah.

Jika hendak menge-tengahkan keragaman dan keunikan etnis berikut eksotismenya dengan menampilkan berbagai atraksi dan seni budaya daerah, selayaknya ditampilkan seminggu sebelum dan sesudah hari-H perayaan. Sedangkan seminggu sebelum hingga hari-H perayaan, benar-benar merupakan rasa syukur atas tuntunan yang telah dibawa Nabi Muhammad.

Spiritnya harus dijaga, perimbangan dan proporsi keduanya (Tuntunan dan Tontonan) harus terjaga. Nut Ing Jaman Kalakone tak sama dan tak sebangun juga tak searti dengan Kentir Ing Banjir Bandhang Kali Jaman.

                                                         

ACARA SEKATEN Masyarakat Yogyakarta dan daerah sekitarnya masih percaya bahwa perayaan Sekaten, khususnya pada saat diiringi gamelan, akan mendatangkan berkah dari Tuhan untuk pekerjaan, kesehatan dan masa depan mereka. Pada hari pertama perayaan Sekaten diawali pada tengah malam dengan sebuah prosesi abdi dalem yang berjalan dalam dua baris dengan membawa dua set gamelan, yang bernama Kyai Nogowilogo dan Kyai Guntur Madu. Prosesi ini meninggalkan bangsal Ponconiti dengan dikawal oleh pengawal oleh prajurit Kraton menuju Masjis Agung. Di masjid Agung, kyai Nogowilogo diletakkan di Pagongan Selatan. Kedua set gamelan ini dimainkan secara stimulan sampai tanggal 11 bulan Maulud, saat kedua gamelan tersebut dibawa kembali ke Kraton pada tengah malam. Penting untuk diketahui bahwa beberapa hari sebelum dan selama Sekaten diadakan pasar malam di alun-alun utara. Puncak dari perayaan Sekaten adalah Garebeg Maulud yang diadakan pada tanggal 12 bulan Maulud. Festival ini dimulai pada pukul 07.30 pagi, diawali oleh parade prajurit Kraton, yang terdiri dari sepuluh unit yang berama : Wirobrojo, Daeng, Patangpuluh, Jogokaryo, Prawirotomo, Nyutro, Ketanggung, Mantrijero, Surokarso dan Bugis yang mengenakan seragam kebesaran mereka. Parade dimulai di halaman utara Kemandungan dan Kraton, menyeberangi Sitihinggil dan menuju ke Pagelaran di alun-alun utara. Pada pukul 10.00, Gunungan meninggalkan Kraton dengan didahului oleh pasukan Bugis dan Surokarso. Gunungan terdiri dari makanan seperti sayuran, kacang-kacangan, cabai merah, telur, beberapa makanan berbahan dasar, yang disusun membentuk gunung yang melambangkan kemakmuran dan kesejahteraan Mataram. Saat parade menyeberangi alun-alun utara, mereka akan disambut oleh tembakan salvo dan sorkan prajurit Kraton yang telah menunggu. Prosesi tersebut disebut Garebeg. Kata Garebeg berasal dari bahasa Jawa 'Brebeg" atau "Gumerebeg" yang berarti suara ribut yang ditimbulkan oleh sorakan penonton. Gunungan kemudian akan dibawa menuju Masjid Agung dimana setelah gunungan itu diberkahi, orang-orang akan berebutan mengambil bagian-bagian dari Gunungan tersebut, karena percaya bahwa gunungan itu merupakan benda suci, sehingga bagian-bagiannya pun dipercaya mempunyai kekuatan supranatural. Para petani sering menanam bagian dari gunungan tersebut di sawah dengan harapan akan dijauhkan dari bencana atau nasib sial. Menurut penanggalan Jawa, ada perayaan lain selain Garebeg Maulud, yang desebut Garebeg Syawal. Perayaan tersebut diadakan setelah bulan Ramadhan. Garebeg Syawal diadakan pada hari pertama bulan Syawal (bulan Jawa). Garebeg Besar diadakan pada hari ke-10 bulan Jawa, yang dihubungkan dengan hari raya umat Muslim (Qurban, Idhul Adha). SEKILAS SEKATEN Pada tahun 1939 Caka atau 1477 Masehi, Raden Patah selaku Adipati Kabupaten Demak Bintara dengan dukungan para wali membangun Masjid Demak. Selanjutnya berdasar hasil musyawarah para wali, digelarlah kegiatan syiar Islam secara terus-menerus selama 7 hari menjelang hari kelahiran Nabi Muhammad S.A.W. Agar kegiatan tersebut menarik perhatian rakyat, dibunyikanlah dua perangkat gamelan buah karya Sunan Giri membawakan gending-gending ciptaan para wali, terutama Sunan Kalijaga. Setelah mengikuti kegiatan tersebut, masyarakat yang ingin memeluk agama Islam dituntun untuk mengucapkan dua kalimat syahadat (syahadatain). Dari kata Syahadatain itulah kemudian muncul istilah Sekaten sebagai akibat perubahan pengucapan. Sekaten terus berkembang dan diadakan secara rutin tiap tahun seiring berkembangnya Kerajaan Demak menjadi Kerajaan Islam. Demikian pula pada saat bergesernya Kerajaan Islam ke Mataram serta ketika Kerajaan Islam Mataram terbagi dua (Kasultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta) Sekaten tetap digelar secara rutin tiap tahun sebagai warisan budaya Islam. Di Kasultana Ngayogyakarta, perayaan sekaten yang terus berkembang dari tahun ke tahun pada dasarnya terdapat tiga pokok inti yang antara lain: 1. Dibunyikannya dua perangkat gamelan (Kanjeng Kyai Nagawilaga dan Kanjeng Kyai Guntur Madu) di Kagungan Dalem Pagongan Masjid Agung Yogyakarta selama 7 hari berturut-turut, kecuali Kamis malam sampai Jumat siang. 2. Peringatan hari lahir Nabi Besar Muhammad SAW pada tanggal 11 Mulud malam, bertempat di serambi Kagungan Dalem Masjid Agung, dengan Bacaan riwayat Nabi oleh Abdi Dalem Kasultanan, para kerabat, pejabat, dan rakyat. 3. Pemberian sedekah Ngarsa Dalem Sampean Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan, berupa Hajad Dalem Gunungan dalam upacara Garebeg sebagai upacara puncak sekaten.

                                                                        
Warisan Kerajaan Demak Itu Tersimpan di Keraton Kasepuhan GAMELAN SEKATEN DI CIREBON DITABUH DUA TAHUN SEKALI GAMELAN Sekaten yang disimpan di Museum Keraton Kasepuhan, pada 1 Syawal dipindahkan di bangunan Sri Tinggil. Gamelan yang berlaras madenda yang dimainkan sembilan penayaga ditabuh guna mengiringi Kangjeng Sultan dan keluarganya, usai Salat Id dari Masjid Sang Ciptarasa Kasepuhan. GAMELAN Sekaten warisan dari Raja Demak II raden Patih Unus tahun 1492 M yang hanya ditabuh setahun sekali guna mengiringi Sultan Kaesepuhan bersama keluarganya seusai Shalat Ied di Masjid Sang Ciptarasa Kota Cirebon.*H UNDANG SUNARYO/MD Instrumen gending gamelan yang melantunkan lagu-lagu buhun, seperti lagu Kodok Ngorek, Sekatenan dan lagu Bango Butak ditabuh mengalun. Sultan Kasepuhan dan keluarga berjalan dari Masjid Sang Ciptarasa menuju keraton sejauh kurang lebih 100 meteran sambil dipirig alunan musik gamelan. Para nayaga yang semuanya adalah seniman keraton memainkan gamelan kunonya sejak sultan melangkahkan kaki seusai Salat Id menuju karaton hingga pukul 12.00 siang. Masyarakat sekitar yang akan dan selesai melaksanakan silaturahmi dan bermusafahah dengan Sultan menyaksikan permainan gending lagu-lagu klasikan yang hanya dua kali dalam setahun ditabuh di panggung Sri Tinggil di bagian depan halaman Keraton Kasepuhan. Alunan suara gamelan yang dipimpin Elang Mande Koswara, mampu memikat hati penonton. Dengan apiknya para nayaga menabuh dan pas dengan ritme dan wilet lagu-lagu buhun, seolah membawa penonton mengingat sejarah masa silam perjuangan para waliyullah dalam mendakwahkan agama Islam di masa silam. Gending yang berdurasi hampir satu jam itu setiap lagu terdengar asing di terima lubang telinga penonton. Soalnya gending lagu tersebut tidak pernah dimainkan oleh para seniman tradisional baik dalam seni pewayangan, sandiwara atau seni tarling lainnya. Namun bagi para keluarga besar Keraton Kasepuhan yang setiap setahun dua kali setia mendengar gending lagu buhun tersebut, sudah bukan hal aneh. Bahkan gending lagu tersebut merupakan lagu wajib yang harus didengar dan dipahami maknanya. Ketika suara azan zuhur terdengar dari pengeras suara masjid Kasepuhan, para nayaga berhenti memainkan gamelan. Seperangkat gamelan yang sejak subuh di angkut ke panggung Sri Tinggil lalu di masukkan lagi ke museum samping keraton. "Bagaimana Anda puas mendengar gending gamelan kuno itu? Mudah-mudahan bisa berkenan di hati Anda, karena gamelan kuno tersebut hanya dua kali dalam setahun dibunyikan. Pada Hari Raya Idulfitri dan Hari Raya Iduladha. Di luar itu disimpan di museum," kata Muhammad Maskun, Lurah Keraton Kasepuhan yang ikut menyaksikan tradisi gamelan sekatenan. Kesembilan alat musik gamelan kuno berlaraskan madenda terbuat dari bahan logam perunggu itu, terdiri dari dua rangkaian bonang sebanyak 14 buah, bedug, kendang, kebluk, gong, dua buah saron dan serangkain jengglong. Karena perawatan cukup apik, semua jenis alat musik tabuh Sekatenan yang berusia lebih dari 500 tahunan itu masih nampak utuh termasuk tempat gamelan yang terbuat dari kayu jati. Dan memiliki suara nyaring dan empuk sehingga tanpa dibantu sound system-pun, dari kejauhan alunan suara gamelan bisa terdengar. Kata Muhammad Maskun seperangkat gamelan kuno yang diberi nama Gamelan Sekaten itu, adalah buah waris dari Raden Patih Unus Raja Islam Demak II yang diwariskan kepada Keraton Kasepuhan Cirebon pada tahun sekira 1429 M. Gamelan tersebut merupakan sarana dawah Islamiyah yang dilakukan semenjak Raden Patah memangku jabatan sebagai raja Islam di Demak pada awal abad XV M. Gamelan Sekaten bisa diwariskan ke Keraton Kasepuhan Cirebon, karena pada saat itu, Raden Patih Unus putra Raden Patah menikahkan anaknya bernama Raden Patih Unus dengan salah seorang putri Syeh Sunan Gunungjati bernama Ny. Mas Ratu Mulung Ayu. Selama lebih 20 tahun berumah tangga, dari hasil pernikahannya Raden Patih Unus, tidak memiliki buah keturunan. Itu sebabnya Raden Patih Unus meninggal dunia, sebagai harta yang diwariskannya almarhun kepada Ny. Mas Ratu Mulung Ayu, salah satunya, berupa seperangkat Gamelan Sekaten yang sengaja diangkut dari Keraton Demak ke Keraton Kasepuhan Cirebon. Pengiring seni wayang kulit Memang di masa para Sultan Kasepuhan memimpin pemerintahan dan melakukan dawah Islam di masanya, Gamelan Sekaten tersebut sering dipakai untuk mengiringi hiburan seni wayang kulit. Namun setelah tak digunakan seni wayang kulit, hingga sekarang gamelan kuno itu cukup disimpan dan diamankan sebagai bukti sejarah. "Sesuai wasiat sebelum Kangjeng Raden Patih Unus wafat, Gamelan Sekaten harus ditabuh pada saat Hari Raya Idulfitri dan Iduladha saja. Sementara ketika jenis gending lagu buhun yang dulu dipakai sarana dakwah sampai akhir zaman tetap harus dilestarikan oleh para seniman keraton," kata Muhamad Maskun. Agar para seniman keraton menguasai gending lagu-lagu buhun itu, setiap bulan sekali mengadakan latihan di museum. Bahkan bagi para keluarga keraton diwajibkan berlatih Gamelan Sekaten. Untuk mengantisipasi jika ada di antara para nayaga meninggal dunia, sehingga tradisi membunyikan Gamelan Sekaten bisa tetap dilaksanakan. Sebetulnya ketiga gending kuno itu, kata Muhamad Maskun memiliki arti masing-masing. Seperti gending Kodok Ngorek sebagai pengiring ceritera pewayangan yang para tokohnya sedang bertempur melawan kemungkaran dan kemusyrikan. Gending Sekatenan, mengiringi masyarakat masuk Islam dengan membaca dua kalimah syahadat. Dan gending Bango Butak sebagai gending penghibur bagi masyarakat yang telah masuk agama Islam. Di Museum Kasepuhan terdapat seperangkat gemelan degung kuno terbuat dari bahan logam perunggu, berlaraskan pelog. Gamelan tersebut adalah warisan dari Kerajaan Islam Banten. Gamelan kuno ditabuh setahun sekali di panggung Sri Tinggil pada tanggal 1 Muharam. Dan sering dipakai latihan sebagai alat pengiring pertunjukan seni wayang kulit di keraton. Satu perangkat alat musik yang tersimpan di Museum Kasepuhan. Empat buah alat tabuh rebana berdiameter 75 cm, adalah warisan dari Kangjeng Sunan Kalijaga pada tahun 1412 M, sebagai tali persahabatan dengan Kangjeng Sunan Gunungjati Cirebon. Keempat rebana yang terbuat dari kulit sapi dan berbingkai kayu jati berukir itu, masih nampak utuh, padahal usianya sudah mencapai lebih 500 tahunan. Sultan Kasepuhan Pangeran Raja Adipati (PRA) Dr. H. Maulana Pakuningrat, S.H. sesuai musafahah bersama keluarga, para karyawan keraton dan sejumlah masyarakat Cirebon, merasa bangga alunan Gending Sekatenan masih dicintai masyarakat sekitar. Bahkan banyak masyarakat luar yang bersalat Id di Masjid Sang Ciptarasa karena sengaja ingin mendengar bunyi Gending Sekatenan sebagai warisan dari Raden Patah. "Selaku sultan yang bertugas memimpin keraton warisan raja Islam terdahulu, kami merasa bangga bahwa keberadaan keraton masih dicintai masyarakat termasuk turis mancanegara. Termasuk pada saat 1 Syawal di mana hampir semua orang merayakan hari kemenangan bersama keluarganya, banyak yang sengaja datang ke sini hanya sekadar ingin mendengarkan gending lagu buhun," kata PRA Maulana Pakuningrat, yang didampingi putra mahkotanya Raden Arief Natadiningrat. Sultan mengaku sejumlah barang pusaka peninggalan para Sultan Kasepuhan masih terawat di keraton. Para petugas keraton dengan penuh kesetiaan merawat semua benda-benda kuno agar jangan sampai punah tertelan zaman. Termasuk salah satunya Gamelan Sekaten yang hanya ditabuh setahun dua kali. (H. Undang Sunaryo/MD)

                                                                  

KUBU HANGABEHI GELAR UPACARA MINTA RESTU RATU KIDUL TEMPO Interaktif, Yogyakarta: Satu dari dua raja kembar Kraton Solo, menggelar upacara labuhan untuk minta restu ke penguasa laut selatan. Kubu GKPH Hangabehi, Selasa (8/2) melakukan upacara ritual di pantai Pandansimo Yogyakarta. Mereka melarung sesaji dan ageman (pakaian) untuk penguasa laut Selatan. "Kemarin kami sangat sibuk sehingga belum bisa menggelar upacara ini. Selain itu, kami perlu mencari hari baik untuk meminta restu kepada Gusti Kanjeng Ratu Kencono Sari. Upacara ini adalah untuk meminta restu atas jumenenengan noto (pengesahan) Gusti Hangabehi sebagai Raja di Kraton Surakarta," kata Bupati Istri Kraton Surakarta, Raden Tumenggung Copuro yang juga adik ipar Hangabehi. Rombongan dari Kraton Solo itu dipimpin adik kandung Hangabehi, GKAy Kus Sapartiyah. Hadir dalam upacara larungan itu, adik kandung Hangabehi lainnya, GKAy Galuh Kencono dan puteri Hangabehi, GRAy Rumai Damayanti. Selain itu, para petinggi dan abdi Hangabehi juga hadir dalam upacara tersebut. Menurut Copuro, selain menggelar labuhan di Pandansimo, upacara serupa juga digelar di Gunung Merapi, Gunung Lawu, gua Wedusan (di Sukoharjo) dan di Dlepih (Wonogiri). "Ada lima tempat yang dijadikan upacara. Dan intinya, minta doa restu agar Hangabehi mendapat keselamatan memimpin Kraton Surakarta," kata Copuro. Dalam upacara labuhan itu, rombongan kubu Hangabehi datang ke Yogyakarta mengendarai 10 mobil pribadi pukul 11.30 WIB. Mereka sudah membawa sesaji lengkap termasuk ageman (pakaian) untuk Ratu Kidul yang dimasukkan ke dalam kotak. Sebelum dilarung, mereka menggelar doa di pendopo Cepuri yang ada di bibir pantai laut Selatan. Setelah itu, pukul 12.30 wib, mereka berjalan kaki menuju pantai Pandansimo. Perlengkapan sesaji kemudian dilarung ke laut. Lantaran besarnya gelombang, tidak ada abdi dalem yang berani membawa sesaji itu ke tengah laut. Mereka meminta bantuan kepada petugas SAR untuk melarung. Seperti diberitakan, konflik di Kraton Surakarta Hadiningrat hingga saat ini belum juga selesai. Kubu Hangabehi dan kubu GKPH Tedjowoelan, saling mengklaim bahwa mereka adalah penguasa sah yang menjabat sebagai Pakoe Boewono XIII. Untuk meredakan konflik internal itu, sejumlah mantan pejabat tinggi negara berusaha mempertemukan keduanya. Namun upaya itu gagal sehingga konflik masih terus berlanjut. (Syaiful Amin)

                                                                         
UPACARA SEKATEN Di Yogyakarta, hari kelahiran Nabi Muhammad SAW yang jatuh pada tanggal 12 bulan maulud (bulan ketiga dari tahun Jawa) diperingati dengan upacara Grebeg Maulud. Namun sebelum memperingatai hari besar tersebut, ada semacam upacara pendahuluan yang biasa dilakukan. Upacara yang diselenggarakan pada tanggal 5 hingga 12 Maulud inilah yang dinamakan Upacara Sekaten. Sekaten yang berasal dari kata ‘syahadatain’ ini pada awalnya merupakan ajang untuk mengumpulkan masyarakat sebagai upaya menyebarkan agama Islam. Di awal masa permulaan perkembangan agama Islam di Jawa, Sunan Kalijogo (salah seorang dari Wali Songo) mempergunakan instrumen musik jawa Gamelan, sebagai salah satu sarana untuk menarik perhatian masyarakat, agar mau datang untik menghadiri dan menikmati pagelaran karawitannya. Pagelaran karawitan ini mempergunakan dua perangkat gamelan yang memiliki laras suara sangat merdu, yaitu Kyai Nogowilogo dan Kyai Guntur Madu. Selain memainkan alat gamelannya, saat pagelaran Sunan Kali Jogo juga melakukan khotbah dan pembacaan ayat-ayat suci Al Qur’an. Dan selama khotbahnya, Sunan Kali Jogo memberikan kesempatan bagi masyarakat yang berkeinginan untuk memeluk agama Islam. Mereka diwajibkan memengucapkan kalimat “Syahadat” yang sebagai pernyataan taat kepada ajaran agama Islam. Istilah “Syahadat” ini kemudian dikenal masyarakat Jawa dengan istilah “Syahadatain”, yang berangsur-angsur berubah menjadi “Syakatain” dalam pengucapannya. Dan saat ini lebih dikenal dengan istilah “Sekaten”. Hingga saat ini, kedua perangkat gamelan Kyai Nogowilogo dan Kyai Guntur Madu, selalu disimpan di tempat yang diberi nama bangsal Sri Menganti. Dan hanya dikeluarkan pada tanggal 5 bulan Maulud, ke bangsal Ponciniti yang terletak di Kemandungan Utara (keben) dan mulai dibunyikan di tempat ini pada sore harinya. Pada hari yang sama, sekitar pukul 23:00 hingga 24:00, kedua perangkat gamelan ini dipindahkan ke halaman Masjid Agung Yogyakarta, dan dalam suatu iring-iringan abdi dalem jajar. Selama perjalanan, kedua perangkat gamelan yang sangat bersejarah ini, selalu dikawal oleh pengawal atau prajurit keraton yang berseragam lengkap. Masyarakat Yogyakarta banyak yang mempercayai bahwa dengan ikut berpartisipasi merayakan kelahiran Nabi Muhammad SAW ini, mereka akan mendapat berkah dan dikaruniai awet muda. Selain berkah awet muda, para petani menggunakan momen ini untuk memohon agar panenannya yang akan datang dapat melimpah. Untuk memperkuat tekadnya, mereka membeli pecut (cambuk) yang akan dibawanya pulang. Untuk mendapatkan berkah tersebut, ada syarat yang harus mereka lakukan, atau dalam bahasa jawa disebut “Srono”. Mereka percaya bahwa mereka juga harus mengunyah sirih di halaman Masjid Agung, terutama di saat hari pertama perayaan. Itulah mengapa pada saat diselenggarakannya upacara Sekaten ini, banyak didapati para penjual sirih dengan segala ramuannya di sekitar Masjid Agung. Tak hanya penjual sirih, ada pula yang menjual nasi gurih beserta aneka lauk pauknya di halaman kemandungan, di Alun-alun Utara, dan di depan Masjid Agung. Bahkan, sebelum Upacara Sekaten ini diselenggarakan, setiap tahunnya Pemda D.I.Y memeriahkan acara dengan mengadakan pasar malam bertempat di Alun-alun Utara Yogyakarta selama kurang lebih satu bulan. Pasar malam inilah yang sekarang kita kenal dengan Sekaten.(yds) (foto: www.tasteofjogja.com)






Lanjut membaca..

DALANG PEWAYANGAN

 

DALANG
Dari Wikipedia Indonesia,
Dalang dalam dunia pewayangan diartikan sebagai seseorang yang memepunyai keahlian khusus memainkan boneka wayang(Ndalang). Keahlian ini biasanya diperoleh dari bakat turun - temurun dari leluhurnya. Seorang anak dalang akan bisa mendalang tanpa belajar secara formal. Ia akan mengikuti ayahnya selagi mendalang dengan membawakan peralatan, menata panggung, mengatur wayang (nyimping), menjadi pengrawit, atau duduk dibelakang ayahnya untuk membantu mempersiapkan wayang yang akan dimainkan.

Selama mengikuti ayahnya "ndalang" dalam kurun waktu yang lama -dari kecil hingga remaja- inilah proses pembelajaran itu terjadi dengan sangat alami, dan rata-rata anak dalang akan bisa mendalang setelah besar nanti. Tetapi banyak juga seorang anak dalang tidak akan menjadi Dalang di kelak kemudian hari, karena mempunyai pilihan hidup sendiri, misalnya berprofesi menjadi pegawai negeri, swasta, TNI dan sebagainya.

Tetapi fenomena itu tidak selamanya benar, dengan adanya sekolah-sekolah pedalangan baik setingkat SMU dan perguruan tinggi, seperti Jurusan Pedalangan Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta (STSI) misalnya, mencetak Sarjana pedalangan yang tidak hanya mumpuni memainkan wayang tetapi juga berwawasan luas dan berpikir kritis. Dalam perguruan tinggi inilah lahir pula dalang yang bukan dari keturunan seorang Dalang, tetapi hanya seseorang yang mempunyai niat yang kuat untuk belajar dalang dan akhirnya bisa mendalang.

Kata Dalang ada yang mengartikan berasal dari kata Dahyang, yang berarti juru penyebuh berbagai macam penyakit. Dalang dalam "jarwo dhosok" diartikan pula sebagai "ngudal piwulang" (membeberkan ilmu), memberikan pencerahan kepada para penontonya. Untuk itu seorang dalang harus mempunyai bekal keilmuan yang sangat banyak. Berbagai bidang ilmu tentunya harus dipelajari meski hanya sedikit, sehingga ketika dalam membangun isi dari ceritera bisa menyesuaikan dengan perkembangan jaman dan nilai-nilai kekinian.

Dalang adalah seorang sutradara, penulis lakon, seorang narator, seorang pemain karakter, penyusun iringan, seorang "penyanyi", penata pentas, penari dan lain sebagainya. Kesimpulannya dalang adalah seseorang yang mempunyai kemampuan multi kompleks, seorang pemimpin dalam pertunjukan dan kelompoknya.

--

WAYANG KULIT
Dari Wikipedia Indonesia

Wayang kulit adalah seni tradisional Indonesia, yang terutama berkembang di Jawa dan disebelah timur semenanjung Malaysia seperti di Kelantan dan Terengganu. Wayang kulit dimainkan oleh seorang dalang yang juga menjadi narator dialog tokoh-tokoh wayang, dengan diiringi oleh musik gamelan yang dimainkan sekelompok nayaga dan tembang yang dinyanyikan oleh para pesinden. Dalang memainkan wayang kulit di balik kelir, yaitu layar yang terbuat dari kain putih, sementara di belakangnya disorotkan lampu listrik atau lampu minyak (blencong), sehingga para penonton yang berada di sisi lain dari layar dapat melihat bayangan wayang yang jatuh ke kelir. Untuk dapat memahami cerita wayang(lakon), penonton harus memiliki pengetahuan akan tokoh-tokoh wayang yang bayangannya tampil di layar.

Wayang kulit lebih populer di Jawa bagian tengah dan timur, sedangkan wayang golek lebih sering dimainkan di Jawa Barat.


DAFTAR TOKOH WAYANG

Di bawah ini disajikan daftar tokoh-tokoh yang muncul dalam kisah Wiracarita, Ramayana dan Mahabharata yang sering dipentaskan dalam pertunjukan wayang:

Dewa - Dewi Para Wayang
Sang Hyang Tunggal
Batara Guru
Batara Bayu
Batara Wisnu
Batara Kamajaya
Batara Indra
Batara Brahma
Batara Narada
Batara Yamadipati
Batara Surya
Batara Candra

Ramayana
Rama Wijaya
Laksamana
Sinta
Satrugna
Subali
Sugriwa
Hanoman
Rahwana
Wibisana
Dasarata
Jatayu
Sumitra
Kosalya
Sarpakenaka
Anggada
Anila
Jembawan
Ramaparasu
Garuda Jatayu
Kumbakarna
Wilkataksini
Indrajit
Trisirah
Trinetra
Trikaya
Prahastha

Mahabharata

Mahabarata menceritakan perebutan kekuasaan antara pihak Pandawa dan Kurawa yang masih bersaudara. Pertarungan antara kedua pihak tersebut memuncak dalam sebuah perang besar Baratayuda.

Pandawa
Yudistira (nama lainnya : Darmawangsa, Darmakusuma, Kantakapura, Gunatalikrama, Sami Aji )
Bima (nama lainnya : Werkudara, Brata Sena, Harya Sena, Bayu Putra, Bayusutu, Dandun Wacana, Kusuma Waligita)
Arjuna (nama lainnya : Janaka, Parta, Panduputra, Kumbawali, Margana, Kuntadi, Indratanaya, Prabu Kariti, Palgunadi, Dananjaya)
Nakula (nama lainnya : Pinten)
Sadewa (nama lainnya : Tansen)
Yudistira, Bima dan Arjuna adalah putra Prabu Pandu Dewanata dan Dewi Kunti
Nakula dan Sadewa adalah putra Prabu Pandu Dewanata dan Dewi Madrim

Pihak Pandawa
Pandu Dewanata
Kresna
Srikandi
Gatotkaca
Abimanyu
Parikesit
Drupadi
Antareja
Antasena
Wisanggeni
Dewi Kunti
Dewi Madrim

Kurawa
Dretarastra
Duryodana, Suyodana
Dursasana
Durmogati
Kartamarma
Jayadrata
Citraksa
Citraksi
Dursala
Dursilawati
Aswatama
Karna*
Durna*
Bhisma*
Sakuni

Pihak Kurawa
RAJA:Duryudana,Suyudana,Destarata Putra,Kuru Pati,Jaka Pitana

Satria yang tak mau bersedekah sama sesama,bersifat dengki srei sama sesama,putra dari prabu Destarata, satria titisan darah Kuru,dan dikala muda sudah memangku jabatan.
PATIH:Arya Sangkuni,Arya Suman.
Pendita:Begawan resi Dorna,pendita Drona,resi Kumboyana.
Begawan Bhisma:Begawan ini pernah menjadi senopati negara Astina dan mati yang prisipnya sama dengan

Kumbakarna dari Alengka dalam Ramayana yang maju kepalagan perang untuk membela bumi tanah kelahirannya. Bhisma maju ke medan perang bukan untuk membela raja Astina yang jelas-jelas tidak baik,dan kematiannya oleh Srikandi yang telah dititisi dewi Amba.
Dursasana:Panegak kurawa dari Banjarajumrut
Aswatama:putra dari resi Dorna
Kartamarma
Tirtanata
Durmogati
Citraksi
Citraksa
Jayadrata
Dursala
Dursilawati
Burisrawa
Karna, Basukarna, Surya Putra:putra dari Dewi Kunti yang juga ibu dari para Pandawa yang berkawan sama raka Astina prabu Duryudana, karena sakit hati tidak masuk/diakui sebagai anggota Pandawa Lima. Akhirnya harus bertarung dengan panengah Pandawa Raden Arjuna dan kalah.

BELUM DIPILAH
Resi Abyasa
Resi Bhisma
Wesampayana
Santanu
Parasara
Satyawati
Kunti
Yuyutsuh
Cakil
Citraksa
Citraksi
Krepa
Drestadyumna
Sangkuni
Salya
Baladewa
Indra
Satyaki
Burisrawa
Kretawarma,Kartamarma
Janamejaya
Ekalawiya
Widura
R.Samba, Wisnubroto
Nala
Damayanti
Tirtanata
Udawa
Durmogati
Sembodra
Utara

PUNAKAWAN

Punakawan adalah para pembantu dan pengasuh setia Pandawa. Dalam wayang kulit, punakawan ini paling sering muncul dalam goro-goro, yaitu babak pertujukan yang seringkali berisi lelucon maupun wejangan. Biasanya sebelum muncul para punakawan pasti ada semacam kata pembuka yang diawali dengan: cth:

Goro-goro....
Goro garaning manungsa sak pirang-pirang,
Yen diitung saka tanah jawa nganti bumi sebrang,
Uripe manungsa kena kaibaratake kaya wayang,
Mrana-mrene pikire mung tansah nggrangsang,
Nanging keri-kerine mung oleh wirang.
Goro-goro.....
Wolak-walike jaman menungsa kakean dosa,
Merga ora ngerti tata krama,senengane tumindak culika,
lan nerak uger-ugere agama,
Wani nekak janggane sapada manungsa
Eling-eleng deweke duwe panguwasa
Najan to olehe nekak ora pati loro,
Nanging saya suwe ya saya kroso
Ora sanak ora kadang waton atine bisa lega
Goro-goro......
Goro-goro jaman kala bendu
Wulangane agama ora digugu,
Sing bener dianggep kliru sing slah malah ditiru,
Bocah sekolah ora gelem sinau,
Yen dituturi malah nesu bareng ora lulus ngantemi guru,
Pancen prawan saiki ayu-ayu,
Ana sing duwur tor kuru,ana sing cendek tor lemu,
Sayang sethitek senengane mung pamer pupu.
Goro-goro........
Goro-goro jaman,jaman kemajuan
Uripe manungsa wis sarwa kecukupan,
Ora kurang sandang,pangan,papan,lan pendidikan,
Ananging malah akeh wong sing menggok ndedalan,
Kayu,watu kanggo sesembahan,domino,lintrik kanggo panggautan,
Senengae mung muja bangsane jin klawan syetan,
Dasar menungsa sing tipis iman.
Goro-goro..........
ada lanjutnya
Pungkasane goro-goro medal Ki Lurah Petruk.........

Versi Jawa Tengah dan Jawa Timur, wayang kulit/wayang orang
Semar
Gareng
Petruk
Bagong

Versi Banyumas, wayang kulit/wayang orang
Semar
Gareng
Petruk
Bawor

Versi Jawa Barat, wayang golek
Semar
Astrajingga
Dawala

Teman para Punakawan
Togog
Bilung
Limbuk
Cangik

Lanjut membaca..

SEJARAH CANDI-CANDI



DATA CANDI
Peninggalan bangunan kuna yang terbuat dari susunan batu berbentuk Candi umumnya terbagi menjadi dua ragam, yaitu: ragam Jawa Tengah dan ragam jaawa Timur. Ciri-ciri ragam Jawa Tengah ialah: bentuk bangunannya tambun, atasnya berundak-undak, puncak berbentuk ratna atau stupa, gawang pintu dan relug berhias Kalamakara, reliefnya timbul agak tinggi berlukiskan naturalis, letak candi di tengah halaman, menghadap ke timur, dan terbuat dari batu andesit.

Ciri-ciri ragam Jawa Timur, ialah: bentuk bangunan ramping, atapnya merupakan perpaduan tingkatan, puncak berbentuk kubus, makara tidak ada, relief timbul sedikit dengan lukisan simbolis menyerupai wayang kulit, letak candi di belakang halaman, menghadap ke barat, kebanyakan terbuat dari bata.

Candi Brahma

Nama candi di kompleks Candi Prambanan, terletak di sebelah selatan Candi Siwa. Didalamnya terdapat patung Brahma yang berkepala empat sebagai dewa pencipta alam. Dibawah patung Brahma terdapat sebuah sumur. Pada setiap dinding kamar candi terdapat batu yang menonjol yang berfungsi sebagai tempat meletakkan lampu.

Candi Asu

Nama candi yang terletak di Desa Candi Pos, kelurahan Sengi, kecamatan Dukun, kabupaten magelang, propinsi Jawa tengah. Di dekatnya juga terdapat 2 buah candi Hindu lainnya, yaitu candi Pendem dan candi Lumbung. Nama candi tersebut merupakan nama baru yang diberikan oleh masyarakat sekitarnya. Disebut Candi Asu karena didekat candi itu terdapat arca Lembu Nandi, wahana dewa Siwa yang diperkirakan penduduk sebagai arca asu ‘anjing’. Disebut Candi Lumbung karena diduga oleh penduduk setempat dahulu tempat menyimpan padi. Ketiga candi tersebut terletak di pinggir Sungai Pabelan, dilereng barat Gunung Merapi, di daerah bertemunya (tempuran) Sungai Pabelan dan Sungai Tlingsing. Ketiganya menghadap ke barat. Candi Asu berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 7,94 meter. Tinggi kaki candi 2,5 meter, tinggi tubuh candi 3,35 meter. Tinggi bagian atap candi tidak diketahui karena telah runtuh dan sebagian besar batu hilang. Melihat ketiga candi tersebut dapat diperkirakan bahwa candi-candi itu termasuk bangunan kecil. Di dekat Candi Asu telah diketemukan dua buah prasati batu berbentuk tugu (lingga), yaitu prasasti Sri Manggala I ( 874 M ) dan Sri Manggala II ( 874 M ).

Candi Mendut

Candi Mendut merupakan candi kedua terbesar di daerah Kudu setelah Barabudur. Candi ini terletak di desa Mendut, Mungkid, Magelang, berjarak sekitar 38 km ke arah barat laut kota Yogyakarta dan 3 km dari Candi Barabudur. Candi mendut bersifat Budhistis dan terkait erat dengan Candi Borobudur serta Candi Pawon. Bahkan ketiga candi tersebut merupakan suatu kesatuan dan berada dalam satu garis lurus.

Candi Mendut juga tidak diketahui secara pasti tahun pembangunannya dan raja yang berkuasa saat itu. Namun J.G. de Casparis dalam disertasinya menghubungkan Candi Mendut dengan raja Indra, salah seorang raja keturunan Sailendra. Sebuah prasasti yang ditemukan di desa karangtengah berangka tahun 824 M yang dikeluarkan raja Sailendra lainnya yaitu Samarattungga, menyebutkan bahwa raja Indra ayah Samarattungga telah membangun sebuah bangunan suci bernama Venuvana (hutan bambu). Jika pendapat Casparis ini benar, maka Candi Mendut didirikan sekitar tahun 8000 M juga. Data lain yang dapat digunakan sebagai pertanggalan Candi mendut adalah ditemukannya tulisan pendek (bagian dari mantra Budhis) yang diduga berasal dari bagian atas pintu masuk.

Dari segi paleografis tulisan tersebut ada persamaan dengan tulisan-tulisan pendek pada relief Karmawibhangga di Candi Barabudur sehingga diduga Candi Mendut sezaman dengan Barabudur dan mungkin lebih tua.

Pada tahun 1834 Candi Mendut mulai mendapat perhatian meskipun mengalami nasib yang sama dengan candi-candi lainnya, yaitu dalam kondisi runtuh dan hancur. Hartman, seorang residen Kedu saat itu mulai memperhatikan Candi Mendut. Dalam tahun 1897 dilakukan persiapan-persiapan untuk pemugaran. Dari tahun 1901-1907 J.L.A. Brandes melangkah lebih maju dan berusaha merestorasi Candi Mendut dan kemudian tahun 1908 dilanjutkan oleh Van Erp meskipun tidak berhasil merekonstruksi secara lengkap.

J.G. de Casparis berpendapat bahwa Candi Mendutdibangun untuk memuliakan leluhur-leluhur Sailendra. Di bilik utama candi ini terdapat 3 buah arca yang menurut para ahli arca-arca tersebut diidentifikasi sebagai Cakyamuni yang diapit oleh Bodhisatwa, Lokeswara dan Bajrapani. Dalam kitab Sang Hyang Kamahayanikan disebutkan bahwa realitas yang tertinggi (advaya) memanifestasikan dirinya dalam 3 dewa (Jina) yaitu : Cakyamuni, Lokesvara, dan Bajrapani. Sebagai candi yang bersifat Budhistist, relief-relief di Candi mendut juga berisi cerita-cerita ajaran moral yang biasanya berupa cerita-cerita binatang yang bersumber dari Pancatantra dari India. Cerita tersebut antara lain adalah seekor kura-kura yang diterbangkan oleh dua ekor angsa dan di bawahnya dilukiskan beberpa anal gembala yang seolah-olah mengejek kura-kura tersebut. Oleh karena kura-kura tersebut emosional dalam menanggapi ejekan, maka terlepaslah gigitannya dari tangkai kayu yang dipegang sehingga terjatuh dan mati. Inti ceritanya adalah ajaran tentang sifat kesombongan yang akan mencelakakan diri sendiri.

Arah candi Mendut tidak tepat ke arah barat, tetapi sedikit bergeser ke arah barat laut. Luas bengunan keseluruhan adalah 13,7 x 13,7 meter dan tinggi sampai sebagian atapnya sekitar 26,5 meter.

Candi Nandhi

Salah satu candi di kompleks Candi Prambanan terletak di deretan sebelah timur. Candi ini hanya mempunyai satu tangga masuk yang menghadap ke barat, tepat di depan jalan masuk ke Candi Siwa. Didalam candi ini terdapat patung seekor lembu jantan besar berbaring menghadap ke Candi Siwa. Lembu jantan ini disebut Nandi, yaitu kendaraan Siwa. Pada bagian lain dalam Candi Nandi terdapat pula dua patung, yaitu Dewa Surya, berdiri di atas kereta yang ditarik oleh tujuh ekor kuda dan Dewa Candra, berdiri di atas kereta yang ditarik oleh sepuluh ekor kuda.

Candi Pawon

Candi Pawon dipugar tahun 1903. Nama Candi Pawon tidak dapat diketahui secara pasti asal-usulnya. J.G. de Casparis menafsirkan bahwa Pawon berasal dari bahasa Jawa Awu(=abu) mendapat awalan pa dan akhiran an yang menunjukkan suatu tempat. Dalam bahasa Jawa sehari-hari kata pawon berarti dapur., akan tetapi casparismengartikan perabuan. Penduduk setempat juga menyebutkan candi Pawon dengan nama Bajranalan. Kata ini mungkin berasal dari kata Sansekerta Vajra (=halilintar) dan anala (=api). Dengan mitologi India, Dewa Indra digambarkan bersenjatakan vajranala, sehingga apakah ada hubungannya dengan raja Indra seperti yang disebutkan dalam prasasti Karangtengah.

Di dalam bilik candi ini sudah ditemukan lagi arca sehingga sulit untuk mengidentifikasikannya lebih jauh. Suatu hal yang menarik dari Candi Pawon ini adalah ragam hiasnya. Dinding-dinding luar candi dihias dengan relief pohon hayati (=kalpataru) yang diapit pundi-pundi dan kinara-kinari (mahluk setengah manusia setengah burung/berkepala manusia berbadan burung).Letak Candi Pawon ini berada di antara candi Mendut dan candi Barabudur, tepat berjarak 1750 m dari candi Barabudur dan 1150 m dari Candi Mendut.

Candi Watu Gudhig

Watu Gudhig nama candi abad IX M, terletak sekitar 4 km sebelah barat daya Candi Prambanan. Tepatnya di pinggir sebelah timur sungai Opak atau sebelah barat jalan raya Prambanan dangan Piyungan. Nama Watu Gudhig juga merupakan nama baru yang diberikan oleh penduduk setempat karena batu-batu candi (umpak batu) terkena lumut dan warnanya berbintik-bintik sperti penyakit kulit (gudhig). Tidak jelas nama aslinya pada zaman dahulu.

CANDI SUKUH

Sebuah candi yang dibangun pada sekitar abad XV terletak di lereng gunung Lawu di Wilayah Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah . Dari permukaan air laut, ketinggiannya sekitar 910 M. Berhawa sejuk dengan panorama yang indah. Kompleks Situs purbakala Candi Sukuh mudah dicapai dengan kendaraan bermotor baik roda dua maupun roda empat, dengan jarak 27 Km dari kota Karanganyar. Situs purbakala Candhi Sukuh ini ditemukan oleh Residen Surakarta “Yohson” ketika masa penjajahan Inggris.

Mulai saat itu banyak kalangan sarjana mengadakan penelitian Candhi Sukuh antara lain Dr. Van der Vlis tahun 1842, Hoepermen diteruskan Verbeek tahun 1889, Knebel tahun 1910, dan sarjana Belanda Dr. WF. Stutterheim. Untuk mencegah kerusakan yang semakin memprihatinkan, Dinas Purbakala setempat pernah merehabilitasi Candi Sukuh pada tahun 1917, sehingga keberadaan Candi Sukuh seperti kondisi yang kita lihat sekarang. Candi Sukuh terdiri tiga tiga trap. Setiap trap terdapat tangga dengan suatu gapura. Gapura-gapura itu amat berbeda bila dibandingkan dengan gapura umumnya candi di Jawa Tengah, apa lagi gapura pada trap pertama. Bentuk bangunannya mirip candi Hindu dipadu dengan unsur budaya asli Indonesia yang nampak begitu kentara, yakni kebudayaan Megaliticum. Trap I Candi Sukuh menghadap ke barat.

Seperti yang sudah diutarakan, trap pertama candi ini terdapat tangga. Bentuk gapuranya amat unik yakni tidak tegak lurus melainkan dibuat miring seperti trapesium, layaknya pylon di Mesir (Pylon : gapura pintu masuk ke tempat suci). Pada sisi gapura sebelah utara terdapat relief “manusia ditelan raksasa” yakni sebuah “sengkalan rumit” yang bisa dibaca “Gapura buta mangan wong “(gapura raksasa memakan mansuia). Gapura dengan karakter 9, buta karakternya 5, mangan karakter 3, dan wong mempunyai karakter 1. Jadi candra sengkala tersebut dapat dibaca 1359 Saka atau tahun 1437 M, menandai selesainya pembangunan gapura pertama ini. Pada sisi selatan gapura terdapat relief raksasa yang berlari sambil menggigit ekor ular. Menurut KC Vrucq, relief ini juga sebuah sangkalan rumit yang bisa dibaca : “Gapura buta anahut buntut “(gapura raksasa menggigit ekor ular), yang bisa di baca tahun 1359 Seperti tahun pada sisi utara gapura.

Menaiki anak tangga dalam lorong gapura terdapat relief yang cukup vulgar. terpahat pada lantai. Relief ini menggambarkan phallus yang berhadapan dengan vagina. Sepintas memang nampak porno, tetapi tidak demikian maksud si pembuat. Sebab tidakmungkin di tempat suci yang merupakan tempat peribadahan terdapat lambang-lambang yang porno. Relief ini mengandung makna yang mendalam. Relief ini mirip lingga-yoni dalam agama Hindu yang melambangkan Dewa Syiwa dengan istrinya (Parwati). Lingga-yoni merupakan lambang kesuburan. Relief tersebut sengaja di pahat di lantai pintu masuk dengan maksud agar siapa saja yang melangkahi relief tersebut segala kotoran yang melekat di badan menjadi sirna sebab sudah terkena “suwuk”.

Boleh dikata relief tersebut berfungsi sebagai “suwuk” untuk “ngruwat”, yakni membersihkan segala kotoran yang melekat di hati setiap manusia. Dalam bukunya Candi Sukuh Dan Kidung Sudamala Ki Padmasuminto menerangkan bahwa relief tersebut merupakan sengkalan yang cukup rumit yaitu : “Wiwara Wiyasa Anahut Jalu”. Wiwara artinya gapura yang suci dengan karakter 9, Wiyasa diartikan daerah yang terkena “suwuk” dengan karakter 5, Anahut (mencaplok) dengan karakter 3, Jalu (laki-laki) berkarakter 1. Jadi bisa di temui angka tahun 1359 Saka. Tahun ini sama dengan tahun yang berada di sisi-sisi gapura masuk candhi.

Trap Kedua Trap kedua lebih tinggi daripada trap pertama dengan pelataran yang lebih luas. Gapura kedua ini sudah rusak, dijaga sepasang arca dengan wajah komis. Garapannya kasar dan kaku, mirip arca jaman pra sejarah di Pasemah. Di latar pojok belakang dapat dijumpai seperti jejeran tiga tembok dengan pahatan-pahatan relief, yang disebut relief Pande Besi. Relief sebelah selatan menggambarkan seorang wanita berdiri di depan tungku pemanas besi, kedua tangannya memegang tangkai “ububan”( peralatan mngisi udara pada pande besi). Barangkali maksudnya agar api tungku tetap menyala. Ini menggambarkan berbagai peristiwa sosial yang menonjol pada saat pembangunan candhi sukuh ini.Pada bagian tengah terdapat relief yang menggambarkan Ganesya dengan tangan yang memegang ekor.

Inipun salah satu sengkalan yang rumit pula yang dapat dibaca : Gajah Wiku Anahut Buntut, dapat ditemui dari sengkalan ini tahun tahun 1378 Saka atau tahun 1496 M. Relief pada sebelah utara menggambarkan seorang laki-laki sedang duduk dengan kaki selonjor. Di depannya tergolek senjata-senjata tajam seperti keris, tumbak dan pisau. Trap Ketiga Trap ketiga ini trap tertinggi yang merupakan trap paling suci. Candhi Sukuh memang dibuat bertrap-trap semakin ke belakang semakin tinggi. Berbeda dengan umumnya candhi-candhi di di Jawa Tengah, Candi Sukuh dikatakan menyalahi pola dari buku arsitektur Hindu Wastu Widya. Di dalam buku itu diterangkan bahwa bentuk candhi harus bujur sangkar dengan pusat persis di tengah-tengahnya, dan yang ditengah itulah tempat yang paling suci.

Sedangkan ikwal Candi Sukuh ternyata menyimpang dari aturan-aturan itu, hal tersebut bukanlah suatu yang mengherankan, sebab ketika Candi Sukuh dibuat, era kejayaan Hindu sudah memudar, dan mengalami pasang surut, sehingga kebudayaan asli Indonesia terangkat ke permukaan lagi yaitu kebudayaan prahistori jaman Megalithic, sehingga mau tak mau budaya-budaya asli bangsa Indonesia tersebut ikut mewarnai dan memberi ciri pada candhi Sukuh ini. Karena trap ketiga ini trap paling suci, maka maklumlah bila ada banyak petilasan. Seperti halnya trap pertama dan kedua, pelataran trap ketiga ini juga dibagi dua oleh jalan setapa yang terbuat dari batu. Jalan batu di tengah pelataran candi ini langka ditemui di candi-candi pada umumnya. Model jalan seperti itu hanya ada di “bangunan suci” prasejarah jaman Megalithic.

Di sebelah selatan jalan batu, di pada pelataran terdapat fragmen batu yang melukiskan cerita Sudamala. Sudamala adalah salah satu 5 ksatria Pandawa atau yang dikenal dengan Sadewa. Disebut Sudamala, sebab Sadewa telah berhasil “ngruwat” Bathari Durga yang mendapat kutukan dari Batara Guru karena perselingkuhannya. Sadewa berhasil “ngruwat” Bethari Durga yang semula adalah raksasa betina bernama Durga atau sang Hyang Pramoni kembali ke wajahnya yang semula yakni seorang bidadari.di kayangan dengan nama bethari Uma Sudamala maknanya ialah yang telah berhasil membebaskan kutukan atau yang telah berhasil “ngruwat”.Adapun Cerita Sudamala diambil dari buku Kidung Sudamala. Sejumlah lima adegan yaitu : 1. Relief pertama menggambarkan ketika Dewi Kunti meminta kepada Sadewa agar mau “ngruwat” Bethari Durga namun Sadewa menolak. 2. Relief kedua menggambarkan ketika Bima mengangkat raksasa dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya menancapkan kuku “Pancanaka” ke perut raksasa. 3. Relief ketiga menggambarkan ketika Sadewa diikat kedua tangannya diatas pohoh randu alas karena menolak keinginan “ngruwat” sang Bethari Durga. Dan sang Durga mengancam Sadewa dengan sebuah pedang besar di tangnnya untuk memaksa sadewa.. 4. Relief keempat menggambarkan Sadewa berhasil “ngruwat” sang Durga. Sadewa kemudian diperintahkan pergi kepertapaan Prangalas.

Disitu Sadewa menikah dengan Dewi Pradapa 5. Relief kelima menggambarkan ketika Dewi Uma (Durga setelah diruwat Sadewa) berdiri di atas Padmasana. Sadewa beserta panakawan menghaturkan sembah pada sang Dewi Uma. Pada pelataran itu juga dapat ditemui soubasement dengan tinggi 85 cm, luasnya sekitar 96 M². Ada juga obelisk yang menyiratkan cerita Garudeya. Cerita ikwal Garudeya merupakan cerita “ruwatan” pula. Ceritanya sebagai berikut : Garuda mempunyai ibu bernama Winata yang menjadi budak salah seorang madunya yang bernama dewi Kadru. Dewi Winata menjadi budak Kadru karena kalah bertaruh tentang warna ekor kuda uchaiswara. Dewi Kadru menang dalam bertaruh sebab dengan curang dia menyuruh anak-anaknya yang berujud ular naga yang berjumlah seribu menyemburkan bisa-bisanya di ekor kuda uchaiswara sehingga warna ekor kuda berubahhitam Dewi Winata dapat diruwat sang Garuda dengan cara memohon “tirta amerta” (air kehidupan) kepada para dewa.

Demikianlah keterangan menurut kisah adhiparwa.. Pada sebelah selatan jalan batu ada terdapat candi kecil, yang di dalamnya terdapat arca dengan ukuran yang kecil pula. Menurut mitologi setempat, candi kecil itu merupakan kediaman Kyai Sukuh penguasa ghaib kompleks candi tersebut . Di dekat candi kecil terdapat arca kura-kura yang cukup besar sejumlah tiga ekor sebagai lambang dari dunia bawah yakni dasar gunung Mahameru, juga berkaitan dengan kisah suci agama Hindhu yakni “samudra samtana” yaitu ketika dewa Wisnu menjelma sebagai kura-kura raksasa untuk membantu para dewa-dewa lain mencari air kehidupan (tirta prewita sari). Ada juga arca garuda dua buah berdiri dengan sayap membentang. Salah satu arca garuda itu ada prasasti menandai tahun saka 1363. Juga terdapat prasasti yang menyiratkan bahwa Candi Sukuh dalam candi untuk pengruwatan, yakni prasasti yang diukir di punggung relief sapi.

Sapi tersebut digambarkan sedang menggigit ekornya sendiri dengan kandungan sengkalan rumit : Goh wiku anahut buntut maknanya tahun 1379 Saka. Sengkalan ini makna tahunnya persis sama dengan makna prasasti yang ada di punggung sapi yang artinya kurang lebih demikian : untuk diingat-ingat ketika hendak bersujud di kayangan (puncak gunung), terlebih dahulu agar datang di pemandian suci. Saat itu adalah tahun saka Goh Wiku anahut buntut 1379. Kata yang sama dengan ruwatan di sini yaitu kata : “pawitra” yang artinya pemandian suci. Karena kompleks Candi Sukuh tidak terdapat pemandian atau kolam pemandian maka pawitra dapat diartikan air suci untuk “ngruwat” seperti halnya kata “tirta sunya”. Tempat suci untuk Pengruwatan , seperti yang sudah diutarakan, dengan bukti-bukti relief cerita Sudamala, Garudeya serta prasasti-prasasti, maka dapat di pastikan Candi Sukuh pada jamannya adalah tempat suci untuk melangsungkan upacara-upacara besar (ritus) ruwatan. Tetapi dengan melihat adanya relief lingga-yoni di gapura terdepan dan pada bagian atas candhi induk, tentulah candhi Sukuh juga sebagai lambang ucapan sukur masyarakat setempat kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kesuburan.yang mereka peroleh Sedangkan dilihat dari bentuk candi yang mirip dengan “punden berundak” tentulah candi ini merupakan tempat pemujaan roh-roh leluhur.

Bukti-bukti bahwa Candi Sukuh merupakan tempat untuk upacara pengruwatan yakni : a. Relief lingga-yoni di gapura pertama selain berfungsi sebagai “suwuk” juga berfungsi untuk “ngruwat” siapa saja yang memasuki candi. b. Relief Sudamala yang menceritakan Sadewa “ngruwat” sang Durga. c. Relief Garudeya yang menggambarkan Garuda “ngruwat” ibunya yang bernama dewi Winata. d. Prasasti tahun 1363 Saka dalam kalimat “babajang maramati setra hanang bango”. e. Prasasti tahun 1379 Saka di punggung lembu yakni kata “pawitra” yang berarti air suci (air untuk pengruwatan). Ikwal upacara “ngruwat” yang dipaparkan di sini sudah barang tentu berbeda dengan upacara ruwatan pada jaman sekarang yang biasanya dilakukan oleh seorang dalang sejati. Yang sering di sebut dalam masyarakat jawa dalang Kandha Buwana.

Dan ada anak yang diruwat pun mempunyai “sukerta” karena posisinya dalam keluarga misalnya: anak ontang-anting, uger-uger lawang, kembang sepasang,kedhana kedhini, sendhang kapit pancuran. Pancuran kapit sendang dan sebagainya; juga karena kebiasaan sehari-hari yang tidak kita sadari misalnya: menjatuhkan “dandang” (tanakan nasi), membuang sampah dari jendela,berjalan seorang diri diwaktu siang hari bolong, atau karena bawaan sejak lahir misalnya gondang-kasih, bungkus, kalung usus; atau karena waktu kelahirannya misalnya julung serap, julung wangi dan sebagainya. Anak-anak yang mempunyai sukerta ini diruwat oleh dalang sejati agar terbebas dari incaran Bethara Kala. Yang dimaksud ruwat di candi Sukuh jelaskah berbeda dengan ruwatan anak-anak sukerta. tersebut diatas, tetapi ruwatan yang melingkupi sebuah masyarakat dan berbagai permasalahan yang melilit kehidupan mereka.

Namun di sini perlu kita cermati keberadaan candhi Sukuh ini yang merupakan tempat peribadahan yang suci yang menjadi saksi atas keta`atan sebuah generasi dan keutuhan sebuah masa yang begitu mengagungkan nilai-nilai kebudayaan dan peribadahan menjadi satu dalam wujud karya yang tiada ternilai harganya, maka picik bagi kita sebagai generasi pewaris bila tak ada niatan dalam hati kita untuk turut berbagi dalam upaya pelestarian nilai-nilai dan kandungan yang tersimpan di dalamnya.

Lanjut membaca..

Sejarah Batik Indonesia



Sejarah Batik Indonesia


Batik secara historis berasal dari zaman nenek moyang yang dikenal sejak
abad XVII yang ditulis dan dilukis pada daun lontar. Saat itu motif atau pola batik masih didominasi dengan bentuk binatang dan tanaman. Namun dalam sejarah perkembangannya batik mengalami perkembangan, yaitu dari corak-corak lukisan binatang dan tanaman lambat laun beralih pada motif abstrak yang menyerupai awan, relief candi, wayang beber dan sebagainya. Selanjutnya melalui penggabungan corak lukisan dengan seni dekorasi pakaian, muncul seni batik tulis seperti yang kita kenal sekarang ini.

Jenis dan corak batik tradisional tergolong amat banyak, namun corak dan variasinya sesuai dengan filosofi dan budaya masing-masing daerah yang amat beragam. Khasanah budaya Bangsa Indonesia yang demikian kaya telah mendorong lahirnya berbagai corak dan jenis batik tradisioanal dengan ciri kekhususannya sendiri.


Perkembangan Batik di Indonesia
Sejarah pembatikan di Indonesia berkaitan dengan perkembangan kerajaan Majapahit dan kerajaan sesudahnya. Dalam beberapa catatan, pengembangan batik banyak dilakukan pada masa-masa kerajaan Mataram, kemudian pada masa kerajaan Solo dan Yogyakarta.

Kesenian batik merupakan kesenian gambar di atas kain untuk pakaian yang menjadi salah satu kebudayaan keluarga raja-raja Indonesia zaman dulu. Awalnya batik dikerjakan hanya terbatas dalam kraton saja dan hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Oleh karena banyak dari pengikut raja yang tinggal diluar kraton, maka kesenian batik ini dibawa oleh mereka keluar kraton dan dikerjakan ditempatnya masing-masing.

Dalam perkembangannya lambat laun kesenian batik ini ditiru oleh rakyat terdekat dan selanjutnya meluas menjadi pekerjaan kaum wanita dalam rumah tangganya untuk mengisi waktu senggang. Selanjutnya, batik yang tadinya hanya pakaian keluarga istana, kemudian menjadi pakaian rakyat yang digemari, baik wanita maupun pria.

Bahan kain putih yang dipergunakan waktu itu adalah hasil tenunan sendiri. Sedang bahan-bahan pewarna yang dipakai terdiri dari tumbuh-tumbuhan asli Indonesia yang dibuat sendiri antara lain dari : pohon mengkudu, tinggi, soga, nila, dan bahan sodanya dibuat dari soda abu, serta garamnya dibuat dari tanah lumpur.


Jadi kerajinan batik ini di Indonesia telah dikenal sejak zaman kerajaan Majapahit dan terus berkembang hingga kerajaan berikutnya. Adapun mulai meluasnya kesenian batik ini menjadi milik rakyat Indonesia dan khususnya suku Jawa ialah setelah akhir abad ke-XVIII atau awal abad ke-XIX. Batik yang dihasilkan ialah semuanya batik tulis sampai awal abad ke-XX dan batik cap dikenal baru setelah usai perang dunia kesatu atau sekitar tahun 1920. Kini batik sudah menjadi bagian pakaian tradisional Indonesia.


Batik Pekalongan
Meskipun tidak ada catatan resmi kapan batik mulai dikenal di Pekalongan, namun menurut perkiraan batik sudah ada di Pekalongan sekitar tahun 1800. Bahkan menurut data yang tercatat di Deperindag, motif batik itu ada yang dibuat 1802, seperti motif pohon kecil berupa bahan baju.

Namun perkembangan yang signifikan diperkirakan terjadi setelah perang besar pada tahun 1825-1830 di kerajaan Mataram yang sering disebut dengan perang Diponegoro atau perang Jawa. Dengan terjadinya peperangan ini mendesak keluarga kraton serta para pengikutnya banyak yang meninggalkan daerah kerajaan. Mereka kemudian tersebar ke arah Timur dan Barat. Kemudian di daerah - daerah baru itu para keluarga dan pengikutnya mengembangkan batik.

Ke timur batik Solo dan Yogyakarta menyempurnakan corak batik yang telah ada di Mojokerto serta Tulungagung hingga menyebar ke Gresik, Surabaya dan Madura. Sedang ke arah Barat batik berkembang di Banyumas, Kebumen, Tegal, Cirebon dan Pekalongan. Dengan adanya migrasi ini, maka batik Pekalongan yang telah ada sebelumnya semakin berkembang.

Seiring berjalannya waktu, Batik Pekalongan mengalami perkembangan pesat dibandingkan dengan daerah lain. Di daerah ini batik berkembang di sekitar daerah pantai, yaitu di daerah Pekalongan kota dan daerah Buaran, Pekajangan serta Wonopringgo.

Perjumpaan masyarakat Pekalongan dengan berbagai bangsa seperti Cina, Belanda, Arab, India, Melayu dan Jepang pada zaman lampau telah mewarnai dinamika pada motif dan tata warna seni batik.

Sehubungan dengan itu beberapa jenis motif batik hasil pengaruh dari berbagai negara tersebut yang kemudian dikenal sebagai identitas batik Pekalongan. Motif itu, yaitu batik Jlamprang, diilhami dari Negeri India dan Arab. Lalu batik Encim dan Klengenan, dipengaruhi oleh peranakan Cina. Batik Belanda, batik Pagi Sore, dan batik Hokokai, tumbuh pesat sejak pendudukan Jepang.


Perkembangan budaya teknik cetak motif tutup celup dengan menggunakan malam (lilin) di atas kain yang kemudian disebut batik, memang tak bisa dilepaskan dari pengaruh negara-negara itu. Ini memperlihatkan konteks kelenturan batik dari masa ke masa.

Batik Pekalongan menjadi sangat khas karena bertopang sepenuhnya pada ratusan pengusaha kecil, bukan pada segelintir pengusaha bermodal besar. Sejak berpuluh tahun lampau hingga sekarang, sebagian besar proses produksi batik Pekalongan dikerjakan di rumah-rumah. Akibatnya, batik Pekalongan menyatu erat dengan kehidupan masyarakat Pekalongan yang kini terbagi dalam dua wilayah administratif, yakni Kotamadya Pekalongan dan Kabupaten Pekalongan.

Pasang surut perkembangan batik Pekalongan, memperlihatkan Pekalongan layak menjadi ikon bagi perkembangan batik di Nusantara. Ikon bagi karya seni yang tak pernah menyerah dengan perkembangan zaman dan selalu dinamis. Kini batik sudah menjadi nafas kehidupan sehari-hari warga Pekalongan dan merupakan salah satu produk unggulan. Hal itu disebabkan banyaknya industri yang menghasilkan produk batik. Karena terkenal dengan produk batiknya, Pekalongan dikenal sebagai KOTA BATIK. Julukan itu datang dari suatu tradisi yang cukup lama berakar di Pekalongan. Selama periode yang panjang itulah, aneka sifat, ragam kegunaan, jenis rancangan, serta mutu batik ditentukan oleh iklim dan keberadaan serat-serat setempat, faktor sejarah, perdagangan dan kesiapan masyarakatnya dalam menerima paham serta pemikiran baru.

Batik yang merupakan karya seni budaya yang dikagumi dunia, diantara ragam tradisional yang dihasilkan dengan teknologi celup rintang, tidak satu pun yang mampu hadir seindah dan sehalus batik Pekalongan.

Lanjut membaca..

Sekelumit




Dari Petikan Sang Nabi (The Prophet) ~ Khalil Gibran


PERENGGAN 12

Seorang ahli hukum menyusul bertanya;
Dan bagaimana tentang undang-undang kita?

Dijawabnya;
Kalian senang meletakkan perundangan,
namun lebih senang lagi melakukan perlanggaran,

Bagaikan kanak-kanak yang asyik bermain di tepi pantai,
yang penuh kesungguhan menyusun pasir jadi menara,
kemudian menghancurkannya sendiri,
sambil gelak tertawa ria.

Tapi,
selama kau sedang sibuk menyusun menara pasirmu,
sang laut menghantarkan lebih banyak lagi pasir ke tepi,

Dan pada ketika kau menghancurkan menara buatanmu,
sang laut pun turut tertawa bersamamu.

Sesungguhnya,
samudera sentiasa ikut tertawa,
bersama mereka yang tanpa dosa.

Tapi bagaimanakah mereka,
yang menganggap kehidupan bukan sebagai samudera,
dan melihat undang-undang buatannya sendiri,
bukan ibarat menara pasir?

Merekalah yang memandang kehidupan,
laksana sebungkal batu karang,
dan undang-undang menjadi pahatnya,
untuk memberinya bentuk ukiran,
menurut selera manusia,
sesuai hasrat kemahuan.

Bagaimana dia,
si tempang yang membenci para penari?

Bagaimana pula kerbau yang menyukai bebannya,
dam mencemuh kijang,
menamakannya haiwan liar tiada guna?

Lalu betapa ular tua,
yang tak dapat lagi menukar kulitnya,
dan kerana itu menyebut ular lain sebagai telanjang,
tak kenal susila?

Ada lagi dia,
yang pagi- pagi mendatangi pesta,
suatu keramaian perkahwinan,
kemudian setelah kenyang perutnya,
dengan badan keletihan,
meninggalkan keramaian dengan umpatan,
menyatakan semua pesta sebagai suatu kesalahan,
dan semua terlibat melakukan kesalahan belaka.

Apalah yang kukatakan tentang mereka,
kecuali bahawa memang mereka berdiri di bawah sinar mentari,
namun berpaling wajah, dan punggung mereka membelakangi?

Mereka hanya melihat bayangannya sendiri,
dan bayangan itulah menjadi undang-undangnya.

Apakah erti sang suria bagi mereka,
selain sebuah pelempar bayangan?

Dan apakah kepatuhan hukum baginya,
selain terbongkok dan melata di atas tanah,
mencari dan menyelusuri bayangan sendiri?

Tapi kau,
yang berjalan menghadapkan wajah ke arah mentari,
bayangan apa di atas tanah,
yang dapat menahanmu?

Kau yang mengembara di atas angin,
kincir mana yang mampu memerintahkan arah perjalananmu,
hukum mana yang mengikatmu,
bila kau patahkan pikulanmu,
tanpa memukulnya pada pintu penjara orang lain?

Hukum apa yang kau takuti,
jikalau kau menari-nari,
tanpa kakimu tersadung belenggu orang lain?

Dan siapakah dia yang menuntutmu,
bila kau mencampakkan pakaianmu,
tanpa melemparkannya di jalan orang lain?

Rakyat Orphalese,
kalian mungkin mampu memukul gendang,
dan kalian dapat melonggarkan tali kecapi,
namun katakan,
siapakah yang dapat menghalangi,
burung pipit untuk menyanyi.

PERENGGAN 13

Seorang ahli pidato maju ke depan;
bertanyakan masalah kebebasan.

Dia mendapat jawapan;
Telah kusaksikan,
di gerbang kota maupun dekat tungku perapian,
dikau bertekuk lutut memuja Sang Kebebasan.

Laksana hamba budak merendahkan diri di depan sang tuan,
si zalim yang disanjung puja,
walaupun dia hendak menikam.

Ya, sampai pun di relung-relung candi,
dan keteduhan pusat kota,
kulihat yang paling bebas pun diantara kalian,
mengendong kebebasannya laksana pikulan,
mengenakannya seperti besi pembelenggu tangan.

Hatiku menitikkan darah dalam dada,
kerana kutahu,
bahawa kau hanya dapat bebas sepenuhnya,
pabila kau dapat menyedari;
bahawa keinginan untuk kebebasan pun,
merupakan sebentuk belenggu jiwamu.

Hanya jikalau kau pada akhirnya,
berhenti bicara tentang Kebebasan,
sebagai suatu tujuan dan sebuah hasil perbincangan,
maka kau akan bebas,
bila hari-hari tiada kosong dari beban fikiran,
dan malam-malammu tiada sepi dari kekurangan dan kesedihan.

Bahkan justeru Kebebasanmu berada dalam rangkuman beban hidup ini,
tetapi yang berhasil engkau atasi,
dan jaya kau tegak menjulang tinggi,
sempurna, terlepas segala tali-temali.

Dan bagaimana kau kan bangkit,
mengatasi hari dan malammu,
pabila kau tak mematahkan belenggu ikatan,
yang di pagi pengalamanmu,
telah engkau kaitkan pada ketinggian tengah harimu?

Sesungguhnyalah,
apa yang kau namai Kebebasan,
tak lain dari mata terkuat diantara mata rantai belenggumu,
walau kilaunya gemerlap cemerlang di sinar suria,
serta menyilaukan pandang matamu.

Dan sedarkah engkau,
apa yang akan kau lepaskan itu?
tiada lain adalah cebisan dari dirimu,
jikalau kau hendak mencapai kebebasan yang kau rindu.

Pabila yang akan kau buang itu,
suatu hukum yang tak adil,
akuilah bahwa dia telah kau tulis dengan tanganmu sendiri,
serta kau pahatkan diatas permukaan keningmu.

Mustahil kau akan menghapusnya,
dengan hanya membakar kitab-kitab hukummu,
tak mungkin pula dengan cara membasuh kening para hakimmu,
walau air seluruh lautan kaucurahkan untuk itu.

Pabila seorang zalim yang hendak kau tumbangkan,
usahakanlah dahulu,
agar kursi tahtanya yang kau tegakkan di hatimu,
kau cabut akarnya sebelum itu.

Sebab bagaimanakah seorang zalim,
dapat memerintah orang bebas dan punya harga diri,
jika bukan engkau sendiri membiarkannya,
menodai kebebasan yang kaujunjung tinggi,
mencorengkan arang pada harkat martabat kemanusiaanmu peribadi?

Pabila suatu beban kesusahan yang hendak kautanggalkan,
maka ingatlah bahwa beban itu telah pernah menjadi pilihanmu,
bukannya telah dipaksakan diatas pundakmu.

Bilamana ketakutan yang ingin kau hilangkan,
maka perasaan ngeri itu bersarang di hatimu,
bukannya berada pada dia yang kau takuti.

Sebenarnyalah, segalanya itu bergetar dalam diri,
dalam rangkulan setengah terkatup, yang abadi;
antara;
yang kauinginkan dan yang kau takuti,
yang memuakkan dan yang kausanjung puji,
yang kaukejar-kejar dan yang hendak kau tinggal pergi.

Kesemuanya itu hadir dalam dirimu selalu,
bagaikan Sinar dan Bayangan,
dalam pasangan-pasangan,
yang lestari berpelukan.

Dan pabila sang bayangan menjadi kabur, melenyap hilang,
maka sinar yang tinggal, wujudlah bayangan baru,
bagi sinar yang lain;
demikianlah selalu.

Seperti itulah pekerti Kebebasan,
pabila ia kehilangan pengikatnya yang lama,
maka ia sendirilah menjadi pengikat baru,
bagi Kebebasan yang lebih agung,
sentiasa.

~ Khalil Gibran

                                                                          MUTIARA KATA

"...pabila cinta memanggilmu... ikutilah dia walau jalannya berliku-liku... Dan, pabila sayapnya merangkummu... pasrahlah serta menyerah, walau pedang tersembunyi di sela sayap itu melukaimu..." (Kahlil Gibran)

"...kuhancurkan tulang-tulangku, tetapi aku tidak membuangnya sampai aku mendengar suara cinta memanggilku dan melihat jiwaku siap untuk berpetualang" (Kahlil Gibran)

"Tubuh mempunyai keinginan yang tidak kita ketahui. Mereka dipisahkan karena alasan duniawi dan dipisahkan di ujung bumi. Namun jiwa tetap ada di tangan cinta... terus hidup... sampai kematian datang dan menyeret mereka kepada Tuhan..." (Kahlil Gibran)

"Jangan menangis, Kekasihku... Janganlah menangis dan berbahagialah, karena kita diikat bersama dalam cinta. Hanya dengan cinta yang indah... kita dapat bertahan terhadap derita kemiskinan, pahitnya kesedihan, dan duka perpisahan" (Kahlil Gibran)

"Aku ingin mencintaimu dengan sederhana... seperti kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu... Aku ingin mencintaimu dengan sederhana... seperti isyarat yang tak sempat dikirimkan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada..." (Kahlil Gibran)

"Jika cinta tidak dapat mengembalikan engkau kepadaku dalam kehidupan ini... pastilah cinta akan menyatukan kita dalam kehidupan yang akan datang" (Kahlil Gibran)

"Apa yang telah kucintai laksana seorang anak kini tak henti-hentinya aku mencintai... Dan, apa yang kucintai kini... akan kucintai sampai akhir hidupku, karena cinta ialah semua yang dapat kucapai... dan tak ada yang akan mencabut diriku dari padanya" (Kahlil Gibran)

"Kemarin aku sendirian di dunia ini, kekasih; dan kesendirianku... sebengis kematian... Kemarin diriku adalah sepatah kata yang tak bersuara..., di dalam pikiran malam. Hari ini... aku menjelma menjadi sebuah nyanyian menyenangkan di atas lidah hari. Dan, ini berlangsung dalam semenit dari sang waktu yang melahirkan sekilasan pandang, sepatah kata, sebuah desakan dan... sekecup ciuman" (Kahlil Gibran)

ROMAN CINTA(KAHLIL GIBRAN)

“…pabila cinta memanggilmu… ikutilah dia walaupun jalannya berliku-liku..dan, pabila sayapnya merangkumu…pasralah serta menyerah, walau pedang tersembunyi di sela sayap itu melukaimu…”

“..tubuh mempunyai keinginan yang tidak kita ketahui. mereka dipisahkan karena alasan duniawi dan dipisahkan di ujung bumi. Namun jiwa tetap ada ditangan cinta…terus hidup…sampai kematian datang dan terus menyeret mereka kepada tuhan…”

“..aku ingin mencintaimu dengan sederhana ..seperti kata yang tak sempat di ucapkan kayu kepada api yang menjadikan abu…aku ingin mencintaimu dengan sederhana …seperti isyarat yang tak sempat dikirimkan awan kepada hujan yang menjadikan tiada….”





Lanjut membaca..
Design by Dzelque Blogger Templates 2008

Spirit Online -