SEKATEN

                                                                    

SEKATEN
(Syahadatain)

Perayaan Sekaten yang dilaksanakan setiap tahun di Karaton Surakarta adalah wujud Mikul Dhuwur Mendhem Jero dari Karaton terhadap perjuangan Wali Songo yang telah berhasil menyebarkan tuntunan nabi Muhammad SAW. Untuk kepentingan dakwah, oleh para wali di Demak, kelahiran Nabi tersebut diperingati selama seminggu, dari tanggal 5-15 Rabbingulawal. Peringatan yang lazim dinamai Maulud Nabi itu, oleh para wali disebut Sekaten, yang berasal dari kata Syahadatain (dua kalimat Syahadat, yakni persaksian manusia muslim bahwa Tida Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah Utusan Allah).

TUNTUNAN

Sekaten diadakan sebagai penghormatan terhadap lahirnya tuntunan bagi manusia, yang perlu terus-menerus didengungkan ke pelosok masyarakat sampai kapanpun juga. Masyarakat yang datang ke Sekaten tidak lain hanya ingin mendapatkan pencerahan (berkah) dari tuntunan yang telah terbukti membawa manusia hidup dalam kebahagiaan lahir dan batin.

Semangat perayaan Sekaten tak lain sebuah peringatan kepada manusia untuk dapat hormat-menghormati satu sama lain, dapat mengakui ide-ide orang lain, bisa mengakui kesalahan dengan Legawa dan menerima kemenangan dengan syukur dan takwa serta tidak takabur.

Sebenarnya, orang-orang yang mendatangi Sekaten pada dasarnya adalah mereka yang mau diatur oleh tuntunan, Ngrungkebi Budi Suci dan menghambakan diri kepada Tuhan YME, menuju manusia sejati sebagaimana yang diharapkan para wali.

TONTONAN
Nyatalah bahwa perayaan Sekaten diperuntukkan bagi mereka yang menghendaki tuntunan; hal yang memang dikehendaki oleh para Wali Songo. Kejelian, kecerdasan, dan kedekatan para Wali pada masyarakatnya, membuat mereka sepakat untuk mengemas dakwahnya dengan menampilkan tontonan yang menghadirkan gamelan pusaka peninggalan dinasti Majapahit yang telah dibawa ke Demak.

Di Karaton Surakarta tradisi menabuh gamelan itu masih tetap dilaksanakan di Bangsal Pagongan, Mesjid Agung Karaton Surakarta. Yang harus disimak dari Gendhing-gendhing Gamelan Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari adalah makna yang ada di dalamnya. Setidaknya ada 2 (dua) kebenaran yang hendak disampaikan. Pertama adalah Syahadat Taukhid, yakin pada adanya Allah SWT, dilambangkan dalam gendhing ‘Rembu’, berasal dari kata Robbunayang yang artinya Allah Tuhanku yang dikumandangkan dari gamelan Kyai Guntur Madu.

Perkara kedua adalah Syahadat Rosul dari Gamelan Kyai Guntur Sari, yakni berkumandangnya Gendhing ‘Rangkung’, berasal dari kata Roukhun yang artinya Jiwa Besar atau Jiwa Yang Agung. Semua tidak hanya sebagai tontonan atau hiburan belaka.

NUT JAMAN KELAKONE

Perkembangan jaman dan semangat baru yang hendak diemban oleh Karaton Surakarta menuntut kelegawaan dan kejembaran pikiran untuk melaksanakannya. Sebagai salah satu dari keragaman konstelasi tradisi Karaton, Sekaten-pun harus Nut Jaman Kelakone. Artinya, baik sebagai Tuntunan maupun sebagai Tontonan, keduanya harus tetap berdasarkan pada tujuan semula diadakannya perayaan Sekaten. Jangan sampai kepercayaan masyarakat yang telah mengakar dikaburkan oleh penonjolan unsur tontonannya. Kita tidak boleh semena-mena dan nggampangke masalah.

Jika hendak menge-tengahkan keragaman dan keunikan etnis berikut eksotismenya dengan menampilkan berbagai atraksi dan seni budaya daerah, selayaknya ditampilkan seminggu sebelum dan sesudah hari-H perayaan. Sedangkan seminggu sebelum hingga hari-H perayaan, benar-benar merupakan rasa syukur atas tuntunan yang telah dibawa Nabi Muhammad.

Spiritnya harus dijaga, perimbangan dan proporsi keduanya (Tuntunan dan Tontonan) harus terjaga. Nut Ing Jaman Kalakone tak sama dan tak sebangun juga tak searti dengan Kentir Ing Banjir Bandhang Kali Jaman.

                                                         

ACARA SEKATEN Masyarakat Yogyakarta dan daerah sekitarnya masih percaya bahwa perayaan Sekaten, khususnya pada saat diiringi gamelan, akan mendatangkan berkah dari Tuhan untuk pekerjaan, kesehatan dan masa depan mereka. Pada hari pertama perayaan Sekaten diawali pada tengah malam dengan sebuah prosesi abdi dalem yang berjalan dalam dua baris dengan membawa dua set gamelan, yang bernama Kyai Nogowilogo dan Kyai Guntur Madu. Prosesi ini meninggalkan bangsal Ponconiti dengan dikawal oleh pengawal oleh prajurit Kraton menuju Masjis Agung. Di masjid Agung, kyai Nogowilogo diletakkan di Pagongan Selatan. Kedua set gamelan ini dimainkan secara stimulan sampai tanggal 11 bulan Maulud, saat kedua gamelan tersebut dibawa kembali ke Kraton pada tengah malam. Penting untuk diketahui bahwa beberapa hari sebelum dan selama Sekaten diadakan pasar malam di alun-alun utara. Puncak dari perayaan Sekaten adalah Garebeg Maulud yang diadakan pada tanggal 12 bulan Maulud. Festival ini dimulai pada pukul 07.30 pagi, diawali oleh parade prajurit Kraton, yang terdiri dari sepuluh unit yang berama : Wirobrojo, Daeng, Patangpuluh, Jogokaryo, Prawirotomo, Nyutro, Ketanggung, Mantrijero, Surokarso dan Bugis yang mengenakan seragam kebesaran mereka. Parade dimulai di halaman utara Kemandungan dan Kraton, menyeberangi Sitihinggil dan menuju ke Pagelaran di alun-alun utara. Pada pukul 10.00, Gunungan meninggalkan Kraton dengan didahului oleh pasukan Bugis dan Surokarso. Gunungan terdiri dari makanan seperti sayuran, kacang-kacangan, cabai merah, telur, beberapa makanan berbahan dasar, yang disusun membentuk gunung yang melambangkan kemakmuran dan kesejahteraan Mataram. Saat parade menyeberangi alun-alun utara, mereka akan disambut oleh tembakan salvo dan sorkan prajurit Kraton yang telah menunggu. Prosesi tersebut disebut Garebeg. Kata Garebeg berasal dari bahasa Jawa 'Brebeg" atau "Gumerebeg" yang berarti suara ribut yang ditimbulkan oleh sorakan penonton. Gunungan kemudian akan dibawa menuju Masjid Agung dimana setelah gunungan itu diberkahi, orang-orang akan berebutan mengambil bagian-bagian dari Gunungan tersebut, karena percaya bahwa gunungan itu merupakan benda suci, sehingga bagian-bagiannya pun dipercaya mempunyai kekuatan supranatural. Para petani sering menanam bagian dari gunungan tersebut di sawah dengan harapan akan dijauhkan dari bencana atau nasib sial. Menurut penanggalan Jawa, ada perayaan lain selain Garebeg Maulud, yang desebut Garebeg Syawal. Perayaan tersebut diadakan setelah bulan Ramadhan. Garebeg Syawal diadakan pada hari pertama bulan Syawal (bulan Jawa). Garebeg Besar diadakan pada hari ke-10 bulan Jawa, yang dihubungkan dengan hari raya umat Muslim (Qurban, Idhul Adha). SEKILAS SEKATEN Pada tahun 1939 Caka atau 1477 Masehi, Raden Patah selaku Adipati Kabupaten Demak Bintara dengan dukungan para wali membangun Masjid Demak. Selanjutnya berdasar hasil musyawarah para wali, digelarlah kegiatan syiar Islam secara terus-menerus selama 7 hari menjelang hari kelahiran Nabi Muhammad S.A.W. Agar kegiatan tersebut menarik perhatian rakyat, dibunyikanlah dua perangkat gamelan buah karya Sunan Giri membawakan gending-gending ciptaan para wali, terutama Sunan Kalijaga. Setelah mengikuti kegiatan tersebut, masyarakat yang ingin memeluk agama Islam dituntun untuk mengucapkan dua kalimat syahadat (syahadatain). Dari kata Syahadatain itulah kemudian muncul istilah Sekaten sebagai akibat perubahan pengucapan. Sekaten terus berkembang dan diadakan secara rutin tiap tahun seiring berkembangnya Kerajaan Demak menjadi Kerajaan Islam. Demikian pula pada saat bergesernya Kerajaan Islam ke Mataram serta ketika Kerajaan Islam Mataram terbagi dua (Kasultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta) Sekaten tetap digelar secara rutin tiap tahun sebagai warisan budaya Islam. Di Kasultana Ngayogyakarta, perayaan sekaten yang terus berkembang dari tahun ke tahun pada dasarnya terdapat tiga pokok inti yang antara lain: 1. Dibunyikannya dua perangkat gamelan (Kanjeng Kyai Nagawilaga dan Kanjeng Kyai Guntur Madu) di Kagungan Dalem Pagongan Masjid Agung Yogyakarta selama 7 hari berturut-turut, kecuali Kamis malam sampai Jumat siang. 2. Peringatan hari lahir Nabi Besar Muhammad SAW pada tanggal 11 Mulud malam, bertempat di serambi Kagungan Dalem Masjid Agung, dengan Bacaan riwayat Nabi oleh Abdi Dalem Kasultanan, para kerabat, pejabat, dan rakyat. 3. Pemberian sedekah Ngarsa Dalem Sampean Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan, berupa Hajad Dalem Gunungan dalam upacara Garebeg sebagai upacara puncak sekaten.

                                                                        
Warisan Kerajaan Demak Itu Tersimpan di Keraton Kasepuhan GAMELAN SEKATEN DI CIREBON DITABUH DUA TAHUN SEKALI GAMELAN Sekaten yang disimpan di Museum Keraton Kasepuhan, pada 1 Syawal dipindahkan di bangunan Sri Tinggil. Gamelan yang berlaras madenda yang dimainkan sembilan penayaga ditabuh guna mengiringi Kangjeng Sultan dan keluarganya, usai Salat Id dari Masjid Sang Ciptarasa Kasepuhan. GAMELAN Sekaten warisan dari Raja Demak II raden Patih Unus tahun 1492 M yang hanya ditabuh setahun sekali guna mengiringi Sultan Kaesepuhan bersama keluarganya seusai Shalat Ied di Masjid Sang Ciptarasa Kota Cirebon.*H UNDANG SUNARYO/MD Instrumen gending gamelan yang melantunkan lagu-lagu buhun, seperti lagu Kodok Ngorek, Sekatenan dan lagu Bango Butak ditabuh mengalun. Sultan Kasepuhan dan keluarga berjalan dari Masjid Sang Ciptarasa menuju keraton sejauh kurang lebih 100 meteran sambil dipirig alunan musik gamelan. Para nayaga yang semuanya adalah seniman keraton memainkan gamelan kunonya sejak sultan melangkahkan kaki seusai Salat Id menuju karaton hingga pukul 12.00 siang. Masyarakat sekitar yang akan dan selesai melaksanakan silaturahmi dan bermusafahah dengan Sultan menyaksikan permainan gending lagu-lagu klasikan yang hanya dua kali dalam setahun ditabuh di panggung Sri Tinggil di bagian depan halaman Keraton Kasepuhan. Alunan suara gamelan yang dipimpin Elang Mande Koswara, mampu memikat hati penonton. Dengan apiknya para nayaga menabuh dan pas dengan ritme dan wilet lagu-lagu buhun, seolah membawa penonton mengingat sejarah masa silam perjuangan para waliyullah dalam mendakwahkan agama Islam di masa silam. Gending yang berdurasi hampir satu jam itu setiap lagu terdengar asing di terima lubang telinga penonton. Soalnya gending lagu tersebut tidak pernah dimainkan oleh para seniman tradisional baik dalam seni pewayangan, sandiwara atau seni tarling lainnya. Namun bagi para keluarga besar Keraton Kasepuhan yang setiap setahun dua kali setia mendengar gending lagu buhun tersebut, sudah bukan hal aneh. Bahkan gending lagu tersebut merupakan lagu wajib yang harus didengar dan dipahami maknanya. Ketika suara azan zuhur terdengar dari pengeras suara masjid Kasepuhan, para nayaga berhenti memainkan gamelan. Seperangkat gamelan yang sejak subuh di angkut ke panggung Sri Tinggil lalu di masukkan lagi ke museum samping keraton. "Bagaimana Anda puas mendengar gending gamelan kuno itu? Mudah-mudahan bisa berkenan di hati Anda, karena gamelan kuno tersebut hanya dua kali dalam setahun dibunyikan. Pada Hari Raya Idulfitri dan Hari Raya Iduladha. Di luar itu disimpan di museum," kata Muhammad Maskun, Lurah Keraton Kasepuhan yang ikut menyaksikan tradisi gamelan sekatenan. Kesembilan alat musik gamelan kuno berlaraskan madenda terbuat dari bahan logam perunggu itu, terdiri dari dua rangkaian bonang sebanyak 14 buah, bedug, kendang, kebluk, gong, dua buah saron dan serangkain jengglong. Karena perawatan cukup apik, semua jenis alat musik tabuh Sekatenan yang berusia lebih dari 500 tahunan itu masih nampak utuh termasuk tempat gamelan yang terbuat dari kayu jati. Dan memiliki suara nyaring dan empuk sehingga tanpa dibantu sound system-pun, dari kejauhan alunan suara gamelan bisa terdengar. Kata Muhammad Maskun seperangkat gamelan kuno yang diberi nama Gamelan Sekaten itu, adalah buah waris dari Raden Patih Unus Raja Islam Demak II yang diwariskan kepada Keraton Kasepuhan Cirebon pada tahun sekira 1429 M. Gamelan tersebut merupakan sarana dawah Islamiyah yang dilakukan semenjak Raden Patah memangku jabatan sebagai raja Islam di Demak pada awal abad XV M. Gamelan Sekaten bisa diwariskan ke Keraton Kasepuhan Cirebon, karena pada saat itu, Raden Patih Unus putra Raden Patah menikahkan anaknya bernama Raden Patih Unus dengan salah seorang putri Syeh Sunan Gunungjati bernama Ny. Mas Ratu Mulung Ayu. Selama lebih 20 tahun berumah tangga, dari hasil pernikahannya Raden Patih Unus, tidak memiliki buah keturunan. Itu sebabnya Raden Patih Unus meninggal dunia, sebagai harta yang diwariskannya almarhun kepada Ny. Mas Ratu Mulung Ayu, salah satunya, berupa seperangkat Gamelan Sekaten yang sengaja diangkut dari Keraton Demak ke Keraton Kasepuhan Cirebon. Pengiring seni wayang kulit Memang di masa para Sultan Kasepuhan memimpin pemerintahan dan melakukan dawah Islam di masanya, Gamelan Sekaten tersebut sering dipakai untuk mengiringi hiburan seni wayang kulit. Namun setelah tak digunakan seni wayang kulit, hingga sekarang gamelan kuno itu cukup disimpan dan diamankan sebagai bukti sejarah. "Sesuai wasiat sebelum Kangjeng Raden Patih Unus wafat, Gamelan Sekaten harus ditabuh pada saat Hari Raya Idulfitri dan Iduladha saja. Sementara ketika jenis gending lagu buhun yang dulu dipakai sarana dakwah sampai akhir zaman tetap harus dilestarikan oleh para seniman keraton," kata Muhamad Maskun. Agar para seniman keraton menguasai gending lagu-lagu buhun itu, setiap bulan sekali mengadakan latihan di museum. Bahkan bagi para keluarga keraton diwajibkan berlatih Gamelan Sekaten. Untuk mengantisipasi jika ada di antara para nayaga meninggal dunia, sehingga tradisi membunyikan Gamelan Sekaten bisa tetap dilaksanakan. Sebetulnya ketiga gending kuno itu, kata Muhamad Maskun memiliki arti masing-masing. Seperti gending Kodok Ngorek sebagai pengiring ceritera pewayangan yang para tokohnya sedang bertempur melawan kemungkaran dan kemusyrikan. Gending Sekatenan, mengiringi masyarakat masuk Islam dengan membaca dua kalimah syahadat. Dan gending Bango Butak sebagai gending penghibur bagi masyarakat yang telah masuk agama Islam. Di Museum Kasepuhan terdapat seperangkat gemelan degung kuno terbuat dari bahan logam perunggu, berlaraskan pelog. Gamelan tersebut adalah warisan dari Kerajaan Islam Banten. Gamelan kuno ditabuh setahun sekali di panggung Sri Tinggil pada tanggal 1 Muharam. Dan sering dipakai latihan sebagai alat pengiring pertunjukan seni wayang kulit di keraton. Satu perangkat alat musik yang tersimpan di Museum Kasepuhan. Empat buah alat tabuh rebana berdiameter 75 cm, adalah warisan dari Kangjeng Sunan Kalijaga pada tahun 1412 M, sebagai tali persahabatan dengan Kangjeng Sunan Gunungjati Cirebon. Keempat rebana yang terbuat dari kulit sapi dan berbingkai kayu jati berukir itu, masih nampak utuh, padahal usianya sudah mencapai lebih 500 tahunan. Sultan Kasepuhan Pangeran Raja Adipati (PRA) Dr. H. Maulana Pakuningrat, S.H. sesuai musafahah bersama keluarga, para karyawan keraton dan sejumlah masyarakat Cirebon, merasa bangga alunan Gending Sekatenan masih dicintai masyarakat sekitar. Bahkan banyak masyarakat luar yang bersalat Id di Masjid Sang Ciptarasa karena sengaja ingin mendengar bunyi Gending Sekatenan sebagai warisan dari Raden Patah. "Selaku sultan yang bertugas memimpin keraton warisan raja Islam terdahulu, kami merasa bangga bahwa keberadaan keraton masih dicintai masyarakat termasuk turis mancanegara. Termasuk pada saat 1 Syawal di mana hampir semua orang merayakan hari kemenangan bersama keluarganya, banyak yang sengaja datang ke sini hanya sekadar ingin mendengarkan gending lagu buhun," kata PRA Maulana Pakuningrat, yang didampingi putra mahkotanya Raden Arief Natadiningrat. Sultan mengaku sejumlah barang pusaka peninggalan para Sultan Kasepuhan masih terawat di keraton. Para petugas keraton dengan penuh kesetiaan merawat semua benda-benda kuno agar jangan sampai punah tertelan zaman. Termasuk salah satunya Gamelan Sekaten yang hanya ditabuh setahun dua kali. (H. Undang Sunaryo/MD)

                                                                  

KUBU HANGABEHI GELAR UPACARA MINTA RESTU RATU KIDUL TEMPO Interaktif, Yogyakarta: Satu dari dua raja kembar Kraton Solo, menggelar upacara labuhan untuk minta restu ke penguasa laut selatan. Kubu GKPH Hangabehi, Selasa (8/2) melakukan upacara ritual di pantai Pandansimo Yogyakarta. Mereka melarung sesaji dan ageman (pakaian) untuk penguasa laut Selatan. "Kemarin kami sangat sibuk sehingga belum bisa menggelar upacara ini. Selain itu, kami perlu mencari hari baik untuk meminta restu kepada Gusti Kanjeng Ratu Kencono Sari. Upacara ini adalah untuk meminta restu atas jumenenengan noto (pengesahan) Gusti Hangabehi sebagai Raja di Kraton Surakarta," kata Bupati Istri Kraton Surakarta, Raden Tumenggung Copuro yang juga adik ipar Hangabehi. Rombongan dari Kraton Solo itu dipimpin adik kandung Hangabehi, GKAy Kus Sapartiyah. Hadir dalam upacara larungan itu, adik kandung Hangabehi lainnya, GKAy Galuh Kencono dan puteri Hangabehi, GRAy Rumai Damayanti. Selain itu, para petinggi dan abdi Hangabehi juga hadir dalam upacara tersebut. Menurut Copuro, selain menggelar labuhan di Pandansimo, upacara serupa juga digelar di Gunung Merapi, Gunung Lawu, gua Wedusan (di Sukoharjo) dan di Dlepih (Wonogiri). "Ada lima tempat yang dijadikan upacara. Dan intinya, minta doa restu agar Hangabehi mendapat keselamatan memimpin Kraton Surakarta," kata Copuro. Dalam upacara labuhan itu, rombongan kubu Hangabehi datang ke Yogyakarta mengendarai 10 mobil pribadi pukul 11.30 WIB. Mereka sudah membawa sesaji lengkap termasuk ageman (pakaian) untuk Ratu Kidul yang dimasukkan ke dalam kotak. Sebelum dilarung, mereka menggelar doa di pendopo Cepuri yang ada di bibir pantai laut Selatan. Setelah itu, pukul 12.30 wib, mereka berjalan kaki menuju pantai Pandansimo. Perlengkapan sesaji kemudian dilarung ke laut. Lantaran besarnya gelombang, tidak ada abdi dalem yang berani membawa sesaji itu ke tengah laut. Mereka meminta bantuan kepada petugas SAR untuk melarung. Seperti diberitakan, konflik di Kraton Surakarta Hadiningrat hingga saat ini belum juga selesai. Kubu Hangabehi dan kubu GKPH Tedjowoelan, saling mengklaim bahwa mereka adalah penguasa sah yang menjabat sebagai Pakoe Boewono XIII. Untuk meredakan konflik internal itu, sejumlah mantan pejabat tinggi negara berusaha mempertemukan keduanya. Namun upaya itu gagal sehingga konflik masih terus berlanjut. (Syaiful Amin)

                                                                         
UPACARA SEKATEN Di Yogyakarta, hari kelahiran Nabi Muhammad SAW yang jatuh pada tanggal 12 bulan maulud (bulan ketiga dari tahun Jawa) diperingati dengan upacara Grebeg Maulud. Namun sebelum memperingatai hari besar tersebut, ada semacam upacara pendahuluan yang biasa dilakukan. Upacara yang diselenggarakan pada tanggal 5 hingga 12 Maulud inilah yang dinamakan Upacara Sekaten. Sekaten yang berasal dari kata ‘syahadatain’ ini pada awalnya merupakan ajang untuk mengumpulkan masyarakat sebagai upaya menyebarkan agama Islam. Di awal masa permulaan perkembangan agama Islam di Jawa, Sunan Kalijogo (salah seorang dari Wali Songo) mempergunakan instrumen musik jawa Gamelan, sebagai salah satu sarana untuk menarik perhatian masyarakat, agar mau datang untik menghadiri dan menikmati pagelaran karawitannya. Pagelaran karawitan ini mempergunakan dua perangkat gamelan yang memiliki laras suara sangat merdu, yaitu Kyai Nogowilogo dan Kyai Guntur Madu. Selain memainkan alat gamelannya, saat pagelaran Sunan Kali Jogo juga melakukan khotbah dan pembacaan ayat-ayat suci Al Qur’an. Dan selama khotbahnya, Sunan Kali Jogo memberikan kesempatan bagi masyarakat yang berkeinginan untuk memeluk agama Islam. Mereka diwajibkan memengucapkan kalimat “Syahadat” yang sebagai pernyataan taat kepada ajaran agama Islam. Istilah “Syahadat” ini kemudian dikenal masyarakat Jawa dengan istilah “Syahadatain”, yang berangsur-angsur berubah menjadi “Syakatain” dalam pengucapannya. Dan saat ini lebih dikenal dengan istilah “Sekaten”. Hingga saat ini, kedua perangkat gamelan Kyai Nogowilogo dan Kyai Guntur Madu, selalu disimpan di tempat yang diberi nama bangsal Sri Menganti. Dan hanya dikeluarkan pada tanggal 5 bulan Maulud, ke bangsal Ponciniti yang terletak di Kemandungan Utara (keben) dan mulai dibunyikan di tempat ini pada sore harinya. Pada hari yang sama, sekitar pukul 23:00 hingga 24:00, kedua perangkat gamelan ini dipindahkan ke halaman Masjid Agung Yogyakarta, dan dalam suatu iring-iringan abdi dalem jajar. Selama perjalanan, kedua perangkat gamelan yang sangat bersejarah ini, selalu dikawal oleh pengawal atau prajurit keraton yang berseragam lengkap. Masyarakat Yogyakarta banyak yang mempercayai bahwa dengan ikut berpartisipasi merayakan kelahiran Nabi Muhammad SAW ini, mereka akan mendapat berkah dan dikaruniai awet muda. Selain berkah awet muda, para petani menggunakan momen ini untuk memohon agar panenannya yang akan datang dapat melimpah. Untuk memperkuat tekadnya, mereka membeli pecut (cambuk) yang akan dibawanya pulang. Untuk mendapatkan berkah tersebut, ada syarat yang harus mereka lakukan, atau dalam bahasa jawa disebut “Srono”. Mereka percaya bahwa mereka juga harus mengunyah sirih di halaman Masjid Agung, terutama di saat hari pertama perayaan. Itulah mengapa pada saat diselenggarakannya upacara Sekaten ini, banyak didapati para penjual sirih dengan segala ramuannya di sekitar Masjid Agung. Tak hanya penjual sirih, ada pula yang menjual nasi gurih beserta aneka lauk pauknya di halaman kemandungan, di Alun-alun Utara, dan di depan Masjid Agung. Bahkan, sebelum Upacara Sekaten ini diselenggarakan, setiap tahunnya Pemda D.I.Y memeriahkan acara dengan mengadakan pasar malam bertempat di Alun-alun Utara Yogyakarta selama kurang lebih satu bulan. Pasar malam inilah yang sekarang kita kenal dengan Sekaten.(yds) (foto: www.tasteofjogja.com)






1 comments:

Anonymous said...

Isinya bagus n lengkap. dpt bermanfaat untuk mempertahankan pengetahuan tentang sekaten. Kalau bisa dikasih gambar yang lbh banyak untuk info2 yang lain.:D

Post a Comment

Terima Kasih Atas Kunjunganya ( Tank You for Visit )

Design by Dzelque Blogger Templates 2008

Spirit Online -